Sunday, February 22, 2009

Bangsa Indonesia Bermental Pengemis?

Categories:

Suatu bangsa tak akan pernah berkembang, kalau bangsa itu masih bermental pengemis. Mencari suatu harga yang sedikit dengan menjual kehormatan dan kepercayaan merupakan tindakan yang sangat rendah. Tanpa disadari, tampaknya tiap elemen di Indonesia memang terdapat mental-mental pengemis. Dari masyarakat, aparat, atau bahkan pejabat. Tak habis pikir, mereka bukanlah orang yang kekurangan harta, tapi berkelakuan seperti pengemis.

Pada suatu moment, pada liburan akhir semester 4, sebagian mahasiswa tingkat dua melakukan Geladi. Termasuk aku. Geladi dilakukan selama, kalau tidak salah, 6 minggu. Nah, pada suatu pagi, dengan semngat tinggi berangkat geladi, jam 6.30 aku berangkat dari kosan menuju jalan Ahmad Yani (arah Cicaheum) dengan motor tuaku. Bojongsoang, Buahbatu, Laswi, wuz...wuz...

Setelah melewati rel kereta api di Jalan Laswi, otomatis aku mendapati pertigaan. Biar cepet, mending guwe belok kanan aja ah, pikirku. Berhubung lampunya merah, tentu sebagai warga negara yang baik, aku harus berhenti. Apalagi disitu ada 2 polisi yang sedang sok sibuk ngatur lalu lintas di muka jalan.

Ku tunggu lama. Wah, ini lampu lama bet dah, pikirku. Kuperhatikan jalanan. Hampir semua pengguna jalan belok kiri. Hanya 2 orang yang berhenti untuk mendapat giliran lampu hijau untuk berbelok kanan. Aku dan seorang bapak bersama istrinya. Aku ayem-ayem saja. Ah, masih pagi ini, pikirku. Sesekali 2 polisi itu memperhatikanku dan bapak tadi.

Nah, pucuk dicinta ulam pun tiba. Hijau! Yes!. Ku masukkan gigi satu, tarik gas. Ngeeng...!!! Tiba-tiba, "Mas... mas.... Tolong tunjukan SIM dan STNK-nya". Jegerrr... Ada apa ini? Y sudah, aku tunjukkan SIM dan STNK-ku. Dan bapak yang menunggu lampu hijau bersamaku tadi, tampaknya mengalami hal yang serupa.

"Mas gak liat apa, disitu ada plang yang melarang belok kanan pada jam 6.00 - 7.00?".
"Heee...? Mana?". O iya, di situ ada rambunya. berhubung sepi jadi posisiku paling depan, di ujung jalan, dan rambu itu kan jadi di belakangku.

Berhubung aku merasa tak sengaja, aku bilang sama bapak polisi itu.
"Lho pak, aku kan sudah berhenti di pertigaan itu, lampu riting aku juga sudah nyala mau belok kanan. Kok saya gak dikasih tau kalau belok kanan itu dilarang untuk jam segitu?"
"Ah, kalau sudah tau gak perlu dikasih tau, lagian kan ada rambu-rambunya... bla...bla...bla...."

Celaka, SIM dan STNK-ku sudah di tangan polisi. Kalau aku terus protes, bisa-bisa aku dipersulit. Dan waktuku yang berharga tak mungkin kuhabiskan dengan polisi itu.

Berhubung aku mau Geladi dan tidak mau berurusan di pengadilan, akhirnya aku dan polisi itu sepakat untuk paka "cara lama". Berdamai. Rp 20.000,00 melayang. Ku sodaqahkan untuk polisi itu. Fiuh...

Setelah itu aku melanjutkan perjalananku menuju Jalan Ahmad Yani, dengan jalur yang lain. Sambil ngedumel pastinya...

Nah, dari kejadian kita bisa lihat keanehan. Bagaimana mungkin mereka tidak melihat aku dan bapak itu hendak melanggar lalulintas. Jelas-jelas aku dan bapak itu berhenti dipertigaan, riting menyala ke kanan. Secara, lampu merahnya lama lagi. Anak kecil pun tahu kalau aku dan bapak itu akan belok kanan. Dan polisi itu membiarkannya. Apa-apaan ini? Mereka lebih memilih pelanggaran itu terjadi dan memberi hukuman daripada memberi peringatan sehingga pelanggaran macam itu tidak perlu terjadi. Jadi seakan-akan menunggu mangsa masuk perangkap. Aparat macam apa ini? Apa mereka tidak pernah membaca riwayat Umar bin Khotob saat dia memimpin suatu negeri yang besar? Dasar, mereka lebih memilih mendapat harga yang sedikit daripada mencegah suatu pelanggaran terjadi. Melanggar aturan itu salah. Tapi memanfaatkan orang lain untuk berbuat kesalah jauh lebih buruk kan? Dan aku tak perlu melanggar kalau seandainya Polisi itu memberikan peringatan sebelumnya.

Kecewa. Tapi itulah bangsaku, after all. Tidak di lapisan bawah saja, aparatnya pun memang bermental pengemis. Kalau begini, Indonesia tak akan bisa maju.

Itu hanya contoh kecil saja. Tentunya masih banyak fenomena bodoh lainnya di negeri ini. Dan yang aku takutkan perlahan-lahan jiwa nasionalisku ini mulai terkikis. Sebenarnya masih kah ada tempat untuk berlaku jujur di Indonesia? Hhhh... Memang tak mudah berjalan di jalan orang-orang shalih. Makin tinggi pohon maki kencang angin yang meniupnya.

Tentunya harapanku, mental Bangsa Indonesia ini bisa berubah. Dan menjadi bangsa yang besar yang sejajar dengan bansa-bangsa lain di dunia.

Pembangunan di sana-sini tidaklah berarti kalau mentalnya masih mental pengemis. Oh, Indonesia, Kapankah engkau berubah?

".... Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia." [Q:S Ar-Ra'd:11]

Perubahan itu:
Mulai dari diri sendiri, mulai dari yang kecil, dan mulai dari sekarang.
Semoga bangsa ini bisa menjadi lebih baik. Amin...


Spread The Love, Share Our Article

Related Posts

No Response to "Bangsa Indonesia Bermental Pengemis?"

Post a Comment

I'll be glad if you leave a comment below. But, please don't spam my blog. Any comments containing spams, porn matters, harassment, and insulting words will be deleted from Luka Angin.