Bagi yang belum baca epsode sebelumnya dan ingin membacanya, silahkan klik link berikut:
Pada kisah sebelumnya, setelah lelah berjalan-jalan di bandara yang lebih mirip pusat perbelanjaan, aku putuskan untuk merebahkan tubuhku di kursi sejenak, mengingat perjalananku yang masih panjang. Sejenak kemudian, mataku mulai menutup. Syukur, aku bisa tidur sesaat walau bukan tidur yang sempurna. Aku masih bisa mendengar suara kaki-kaki bersepatu yang bergesekan dengan karpet tebal bandara dan suara mesin 'lantai berjalan'* (maaf, aku tak tahu istilahnya apa :D) otomatis. Hingga 3 orang polisi Singapura datang menghampiriku.
"Excuse me, Sir. May I see your passport?" katanya.
"Oh, yeah", aku menjawab.
Kemudian aku keluarkan passport-ku dan aku tunjukan pada mereka. Salah satu polisi menerima dan memeriksanya. Dia melihat sambil mengangguk-angguk. Entah apa yang ia periksa. Setelah puas memeriksa, dia mengucapkan terima kasih dan beranjak pergi. Ternyata bule yang tidur di kursi sebelah juga dibangunkan sama polisi-polisi tadi. Dan si bule tampaknya masih mengantuk, di mulai merebahkan dirinya dan kembali tidur.
Aku tak bisa tidur lagi, cuma celingukan. Jarum pendek jam tanganku menunjuk angka 4. Sudah pagi ternyata. Aku segera membuka catatanku. Aku mencatat jadwal waktu shalat dari shubuh hingga isya sekaligus arah kiblatnya untuk tiap kota tempat aku transit. Waktu shubuh untuk daerah Changi jatuh hampir pada pukul 6.00. Kiblatnya 293.14 derajat dari arah utara searah jarum jam. Aku segera melihat kompas.
"Di sini ada tempat shalat gak ya? Hmmm... kalo gak ada ya udah nekat shalat di pojokan sono. Bersih ini. Bodo amat kalo ntar ada orang ngomongin aku atau polisi-polisi tadi datang lagi. Daripada gak shalat".
Ya sudah berhubung tak bisa tidur, toh waktu subuh tinggal 2 jam lagi, aku berdiri dan kembali mengeksplor Changi International Airport untuk mencari tempat shalat.
Pas berjalan, aku melihat wanita berumur petugas cleaning service. Dia berwajah melayu (mirip Indonesia gitu) dan memakai jilbab.
"Wah, muslim neh, pastinya tau donk tempat shalat". Langsung saja kutanya dia.
"Excuse me, do you know a place for praying?",
"Place for praying?",
"Yeah",
"Ummm.. OK, follow me"
Aku pun mengikuti dia. Sambil berjalan, ia mulai bertanya,
"So, you're moslem?"
"Yes I am".
Iseng-iseng aku pakai Bahasa Indonesia, mestinya dia paham donk. Kan dia dari ras Melayu.
"Disini banyak muslim?",
"O ya, disini muslimnya banyak", dia menjawab dengan dialek Melayu.
"Nah, dari sini kau tengok saja ke kiri terus kanan. Lurus terus, nanti kau temukan tempat shalat"
"O ya, thank you so much".
Aku berpikir, "Cukup tengok kanan kiri bisa ketemu tempat shalat? Cuma nengok? Aih...".
Akhirnya, sampai juga di tempat shalat. Tapi berhubung shubuhnya masih lama, aku memutuskan untuk berjalan-jalan lagi.
Aku terus berjalan sampai tibalah aku di pusat layanan pertukaran pesawat (kalau ak salah namanya Transfer Plane).
"Wah tempat duduknya bagus, duduk disana aja ah. Capek"
Langsung saja aku masuk. Tempatnya tidak dibatasi dinding atau pintu, jadi siapapun bisa masuk. Saat masuk, seorang petugas keturunan India langsung menyambutku.
"Excuse me, are you going to fly by United Airlines?"
"Oh, no.." langsung saja kujawab seperti itu, karena seingatku aku pakai Qatar.
"Oo.." katanya. Dan aku segera duduk di tempat kursi sambil melepas lelah.
Iseng-iseng aku buka tiket pesawat yang diberi oleh Bu Ratna, staf AMINEF di Jakarta. Setelah melihat nomor penerbanganku ke Tokyo, aku kaget.
"Eh? UA 804? Bukannya UA itu United Airlines ya? Wah berarti aku memang naik United Airlines donk!"
Aku langsung menuju pria tadi dan mengatakan kalau aku akan terbang dengan maskapai tersebut. Sempat malu juga sih.
Akhirnya si petugas tersebut mulai menanyai lusinan pertanyaan. Mau apa lah, bawa apa aja lah, bawa cairan gak lah, bawa senjata apa enggak lah. Fiuh. Banyak deh. Tapi tau gak, hampir tiap pertanyaan yang ia ajukan aku minta agar diulangi. Berulang kali aku bilang, "Pardon me, please?". Karena aku memang hampir tidak mengerti apa yang dia katakan. Dia memang menggunakan Bahasa Inggris, tapi versi Singapura. Pusing lah. Agak malu juga saat meminta dia untuk mengulangi pertanyaan. Sepertinya dia setidaknya mananyakan pertanyaan yang sama masing-masing dua kali. Mungkin dalam pikirannya dia bilang, "Susah amat ngomong ama nih bocah. Kaya ngomong ama orang budek." Tau lah.
Setelah selesai wawancara yang sangat menguji kesabaran si petugas gara-gara aku tak paham-paham, aku menuju loket untuk mengurus transfer pesawat. Kemudian petugas meminta tiket-tiketku dari Qatar dan menggantinya dengan United Airlines. Dia sempat menjelaskan tentang check-thru koperku. Aku bisa paham karena Bu Ratna sudah menjelaskan penjelasan yang sama dan dalam Bahasa Indonesia tentunya.
Aku kembali ke kursi. "Alhamdulillah, untungnya petugas tadi tanya. Coba kalo enggak. Bisa berabe."
Tak lama kemudian aku melihat Pak Agussalim, Fulbright Grantee juga, tapi beliau mengikuti program Ph.d di Hawaii.
"Eh, Pak! Pake UA juga ya?"
"Iya neh, ini mau transfer"
"Ah, kesono dulu pak, ke petugas itu" kataku sambil menunjuk pria yang mewawancaraiku.
"O ya?"
"Iya, Pak" aku menjawab dengan lagak sok tau.
Sejurus kemudian Pak Agussalim tampak mulai menjawab pertanyaan-pertanyaan dari pria itu.
"Eh, Pak Agussalim lancar tuh njawabnya. Apa akunya aja yang masih bego ya?"
Setelah selasai wawancara, aku dan Pak Agussalim mengobrol beberapa saat hingga sekitar pukul enam.
"Udah jam enam neh, shalat shubuh yuk" aku mengajaknya.
"Oh kamu tau tempatnya?"
"Tadi saya baru kesana, Pak"
Sesaat kemudian kami sudah tiba di tempat shalat dan kami menunaikan shalat shubuh berjamaah. Sempet kaget juga saat tiba disana.
"Perasaan tadi sepi sekarang tempat shalatnya dipenuhi orang-orang arab..." pikirku.
Selesai shalat kami langsung menuju loby untuk boarding. Namun aku pergi duluan karena Pak Agussalim mampir ke kamar mandi dulu.
Tak lama kemudian aku pun sudah berada di antrian pemeriksaan koper dan barang bawaan. Semua barang bawaan harus diperiksa melalui sinar X. Begitu tiba giliranku, barang-barangku lolos pemeriksaan. Badanku juga ikut digerayangi oleh petugas bandara. Aku sempat melihat pria bule berumur yang marah-marah gara-gara mesin pemeriksa memberi sinyal kejanggalan namun petugas tak bisa menemukan apa itu. Diperiksa bolak-balik tetap saja tak ketemu.
"What are you looking for?!!! You're so annoying!!!" Bentak si bule itu.
Berhubung antrian-nya panjang, aku tinggalkan si bule itu dan masuk ke ruang tunggu.
Aku duduk di kursi tunggu dan tak lama kemudian Pak Agussalim datang. Beberapa menit kemudian tibalah boarding time (dah tahu kan apa itu boarding time? penjelasannya ada di Part I). Ternyata nomor kursiku berbeda jauh dengan Pak Agussalim. Aku dapat kursi 33F (Aku lupa kursi beliau, hehehe). Jadi, begitu masuk kabin kami berpisah dan setelah itu aku tak melihat beliau lagi meskipun pesawat sudah mendarat di Tokyo.
Tak lama, pukul 7.10 am 26 Juli 2009 waktu setempat, pesawat mulai bergerak. Pesawat bergerak menuju jalur penerbangannya. Setelah pesawat siap di jalur terbangnya, mesin pesawat mulai mendengung keras, makin keras dan makin keras. Dalam hitungan detik, pesawat mulai meluncur dengan kecepatan yang terus meningkat. Aku mulai merasakan badan pesawat agak miring dengan kepala pesawat lebih tinggi.Ada sensasi tersendiri kita pesawat mulai mengangkasa dan berputar berbelok arah. Pesawat United Airline dengan nomor penerbangan UA 804 telah diberangkatkan menuju Narita International Airport, Tokyo, Jepang.
Di Narita International Airport, Jepang
Pukul 15.10 waktu setempat (Tokyo), 26 Juli 2009, aku tiba di Narita International Airport. Sesaat sebelum mendarat, saat pesawat melayang di atas pulau Honshu, pulau terbesar Jepang, aku melihat pemandangan sawah hijau terhampar luas. Mirip Indonesia.
"Gila! Aku di Jepang! Negeri matahari terbit. Negerinya Mangaka (seniman manga dan anime), negerinya dorama! Wow!"
Jujur saja, Jepang merupakan salah satu negara yang ada dalam daftar "The most wanted country to visit"ku. Kenapa? Ya gara-gara anime dan doramanya.
Setelah landing, aku melihat kembali tiketku. Ternyata jadwal kedatanganku di Tokyo pukul 15.10 waktu setempat 26 Juli 2009 dan berangkat ke San Frasisco dengan nomor penerbangan UA 0838 pukul 16.05 waktu setempat melalui Terminal 1. Ini berarti waktuku tidak ada satu jam. Untungnya luggage-ku aku check-thru (tahukan check-thru itu apa? Penjelasannya ada di Part II) sampai Denver. Kalau tidak, bisa-bisa aku ketinggalan pesawat. Untungnya lagi, pesawat yang baru saja kunaiki tiba di Terminal 1. Jadi tak perlu pindah ke Terminal yang lain.
Sesaat sebelum ke loby tunggu untuk boarding, aku putuskan untuk ke toilet dulu.
"Mampir pipis dulu ah, masih 15 menit ini. Jadi punya pengalaman pipis di Jepang, hehehe..."
Sejurus kemudian aku sudah berada di antrian pemeriksaan barang. Setelah selesai diperiksa, aku iseng mengucapkan terima kasih pada salah seorang petugas bandara.
"Arigato gozaimasu"
"Hai'..." Jawab si petugas.
Aku berkata dalam hati, "Yes... yes... akhirnya bisa ngomong pake Bahasa Jepang sama orang Jepang asli, hehehehe..."
Sesaat sebelum masuk kabin aku bertemu Bang Simon, seorang Fulbright Grantee juga namun untuk program Magister.
"Oi, Bang! Ke San Francisco juga?"
"Ho oh"
Lagi-lagi, gara-gara nomor kursinya berbeda jauh, aku tetap saja duduk tanpa teman yang kukenal.
Aku duduk di kursi nomor 53A. Aku senang bukan main karena aku bisa duduk di samping jendela. Tapi jendelanya tak bisa di buka (Ya iya lah). Disampingku ada cewek jepang dan cewek bule. Yah lumayan cantik sih. Wow! disampingku cewek-cewek. Lumayan kan? (dasar!)
sambil duduk, kuperhatikan tiketku. Ada yang aneh. Aku berangkat dari Narita International Airport pukul 04.05 pm, 26 Juli 2009 waktu setempat dan tiba di San Francisco International Airport pukul 09.20 am, 26 Juli 2009 waktu setempat.
"Lho kok malah waktunya mundur? Wow, fenomena eneh"
Tak terasa, si burung besi bernomor penerbangan UA 0838 telah mengangkasa. Di dalam pesawat inilah perjalanan terpanjangku dimulai. Melintasi samudra pasifik yang amat luas. Dalam pesawat ini, dalam tanggal 26 Juli 2009, aku melaksanakan shalat fardhu 10 kali dalam tanggal yang sama.
Kenapa?
Bersambung
Nantikan kisahku selanjutnya...
* Bagi yang sudah pernah ke bandara pasti ngerti donk apa yang aku maksudkan dengan "lantai berjalan". Itu adalah semacam lantai panjang yang lebarnya hampir 50 cm. Lantai itu bisa bergerak otomatis. Jadi tak perlu capek-capek jalan, cukup berdiri badan kita ikut jalan. Mirip eskalator, tapi bedanya ini horisontal.
2 Response to Dari Jakarta ke USA - Part III
wah, pengalaman yg luar biasa...btw, belajar bahasa Jepang di mana?
@ Student:
Cuma belajar otodidak, gara2 sering lihat Anime dan Dorama, hehehehe...
Post a Comment
I'll be glad if you leave a comment below. But, please don't spam my blog. Any comments containing spams, porn matters, harassment, and insulting words will be deleted from Luka Angin.