Bagi yang belum baca episode sebelumnya dan pengin membacanya, klik saja
"Dari Jakart ke USA - Part I"
Di Changi Airport, Singapura
Setiba di sana, aku berusaha untuk tampil pede. Biar tidak kelihatan seperti orang bingung dan tampil layaknya orang yang sudah biasa melancong ke mancanegara. Menurutku, wajah orang bingung sangat menarik perhatian bagi pelaku kejahatan. Apalagi saat berada di negeri orang. Tak bisa kubayangkan seandainya menjadi korban kejahatan di negeri orang. Tak ada teman, tak ada keluarga. Pada siapa aku berteriak? Hanya Allah yang menemani.
Tak seperti di Bandara lain, Changi International Airport seperti bandara di dalam Mall. Penuh dengan pusat perbelanjaan, lantai berkarpet, dan bersih. Dan ada juga mesin pemijat otomatis yang bisa digunakan secara cuma-cuma. Jumlahnya pun banyak (aku sudah coba, enak euy!) Bahkan, Changi International Airport adalah satu-satunya (yang aku tahu ^_^) bandara yang memiliki hotel, bioskop, dan swimming pool. Bahkan kamu bisa menonton film gratis disana. Aku melihat tanda bertuliskan "Film Percuma". Aku berfikir, "Lha, film percuma? berarti film tak berguna donk? Ngapain ditayangin?". Setelah melihat terjemahan dalam Bahasa Inggris, tertulis "Free Movies". Oalah...!
Aku tiba di Changi International Airport pada tanggal 26 Juli 2009, pukul 01.10 waktu setempat tapi aku diberangkatkan ke Narita International Airport, Tokyo, Jepang pukul 07.10 waktu setempat. Ini berarti aku harus menunggu pesawat lebih dari 6 jam. Ya sudah apa boleh buat aku harus menghabiskan malamku untuk menunggu di Changi International Airport. Wis, pokoke koyo cah ilang...
Tapi untungnya, Changi International Airport tidak seperti di bandara Soekarno-Hatta. Tempatnya bersih dan dipenuhi dengan fasilitas yang lengkap. Aku sempat melihat beberapa bule tidur dengan nyamannya di kursi. Aku pikir tidur merupakan pilihan yang baik untuk memulihkan energi, mengingat perjalananku masih sangat jauh. Bahkan lebih jauh daripada perjalanannya Tong Sam Chong dan ketiga muridnya untuk mengambil kitab suci. Ya sudah, aku putuskan untuk merebahkan tubuhku ke kursi seperti yang dilakukan bule yang aku lihat tadi. Aku mulai memejamkan mata. Tapi pikiranku tak bisa tenang. Pikiranku berkecamuk, dan banyak hal yang terlintas. "Waduh, kalau tertidur nanti barang-barangku ada yang ambil, ntar ketinggalan pesawat, trus shalat shubuhnya gimana? Trus, bener nih gak ada yang harus aku lakukan selain menunggu? Jangan-jangan ada prosedur yang terlewatkan, Aduuh...". Otakku tak bisa diam. Akhirnya kuputuskan untuk berdiri dan berjalan-jalan di dalam bandara yang lebih mirip pusat perbelanjaan.
Sekitar pukul 01.30 dini hari waktu setempat, aku mulai berjalan-jalan dengan kereta koper yang disediakan secara cuma-cuma oleh bandara. Dengan kereta koper itu, aku cukup menaruh barang-barangku diatas kereta koper dan aku tinggal mendorongnya. Saat itu tengah malam, jadi banyak department store yang tutup. Tapi aku masih menemukan banyak department store yang buka. Mungkin mereka memberikan layanan 24 jam. Aku jadi teringat kata-kata Bang Simon, teman dari ITB yang dapat program beasiswa dari Fulbright untuk program Master, klo colokan listrik di Amrik dengan Indonesia beda, jadi harus beli konverter kalau alat-alat elektronikku mau tetap bisa dipakai. Dia juga bilang kalau aku bisa beli di Changi International Airport. Langsung aku cari department store yang menjual alat-alat elektronik. Akhirnya ketemu juga. Dan inilah conversation pertamaku dalam Bahasa Inggris dengan orang Singapura.
Si penjual, menurutku sih, tampak seperti keturunan India. Dan setelah kuperhatikan memang banyak keturunan India (yang menurutku mirip India - Dravida) di Singapura. Aku coba mulai untuk mengawali transaksi. Dan bayangkan saja, betapa sulitnya aku menggambarkan colokan listrik di Indonesia dan stekernya dalam Bahasa Inggris. Apalagi aku belum berpengalaman dalam berbahasa English-Singapore. Aku dengernya agak susah. Tambah lagi kemampuanku memang pas-pasan. Dengan Bahasa Inggris yang belepotan aku berusaha mendeskripsikannya, dan akhirnya aku keluarkan juga charger ponselku dari tas. Baru setelah itu si penjual mengerti. Deal, dan aku beli seharga (kalau tidak salah) SG$ 5.00. Setelah membeli konverter colokan (ah, apalah namanya...) dengan transaksi yang diwarnai dengan bahasa isyarat, aku mulai melanjutkan sesi jalan-jalanku.
Saat berjalan, aku jadi teringat koperku yang sudah aku check-in di loket Qatar di Bandara Internasional Soekarna-Hatta. Sesuai dengan petunjuk dari Bu Ratna, staf Aminef di Jakarta, aku meminta agar koperku di check-trhu sampai Denver International Airport. Apa maksudnya "check-trhu sampai Denver"? You know, bilamana kamu berpergian dengan pesawat kamu tidak bisa membawa kopermu yang besar masuk ke kabin bersama kamu. Kopermu harus masuk bagasi. Dan itupun dibatasi. Kamu hanya boleh membawa maksimal 2 koper dengan berat maksimum 23 kg. Lebih dari itu, kamu bakal dekenakan charge. Dan bila lebih dari 30 kg, kopermu tidak diperkenankan untuk dibawa. Kamu hanya boleh membawa ke dalam kabin 1 tas gendong (dengan berat tak lebih dari 8 kg), personal bag (tas laptop), dan tas kecil yang biasa ditaruh dipinggang. Selain itu, barang-barangmu harus masuk bagasi. Nah, lalu apa hubungannya dengan "check-thru sampai Denver"? Itu maksudnya, aku tidak akan melihat koperku sampai aku tiba di Denver International Airport atau first entry point ku di USA (San Fransisco International Airport). Petugas maskapai akan men-check-in-kan koperku tiap kali aku transit. Jika tidak melakukan itu, maka aku harus mengambil koperku di baggage claim dan check-in lagi tiap kali aku transit. Jika aku harus check in tiap kali transit, ini akan menyita waktu. Bandara itu luas, bro! Yang jelas bisa buat kakimu mirip kaki pemain bola! Bisa-bisa aku ketinggalan pesawat bila tidak check-trhu.
Aku bertanya dalam hati, "Nasib koperku bagaimana ya? Adakah yang harus aku lakukan selama aku di Changi International Airport ini?" Hmmm... Aku benar-benar tak tahu. Yang aku tahu, aku sudah pegang boarding pass (tiket) untuk terbang dari Changi ke Narita, Tokyo, dari Narita ke San Fransisco, dari San Fransisco ke Denver, dan dari Denver ke Laramie. Aku berpikir, "Ya sudah, kan aku sudah pegang boarding pas. Ini berarti aku tinggal menunggu keberangkatan ku selanjutnya". Dan tak terasa kakiku sudah terasa pegal-pegal. Muter-muter di Soekarno-Hatta saja sudah bikin capek, ditambah lagi jalan-jalan di Changi. Akhirnya kuputuskan untuk mencoba merebahkan diri di kursi.
Sekitar pukul 02.30 pagi waktu setempat, 26 Juli 2009, aku berusaha memejamkan mata. Perasaanku mengatakan ada sesuatu yang harus kulakukan di bandara. Tapi aku tak tahu itu apa. Hal ini tentu mebuatku resah. Namun demikian, aku tetap berusaha untuk tidur di kursi. Tak nyaman memang, ditambah perasaanku yang cemas. Sangat cemas, dan ketakutan. Aku terus berdzikir:
"Hasbunallah wani'mal wakil, ni'mal maula wani'mannasir",
Cukuplah Allah menjadi Penolong kami dan Allah adalah sebaik-baik Pelindung.
Aku akhirnya bisa tidur walaupun bukan tidur yang sempurna. Aku masih bisa merasakan suara-suara di sekelilingku. Hingga akhirnya 3 orang polisi Singapura menghampiriku. Hah?! Polisi?! Ada apa ini...?!
Bersambung...
Nantikan kisahku selanjutnya...
5 Response to Dari Jakarta ke USA - Part II
hmm ternyata rumit juga mau keluar negeri, ya walaupun tampang g kayak orang bingung tapi tetap saja kayak orang asing yang kebingunan.hehe... Namun namanya juga dalam proses pembelajaran yang awalnya g tau menjadi lebih tau yakan.yang penting tetap ikhtiar dan tawakal.ok.selalu semangat!!
@ Sang Pemimpi Dunia: terimakasih...
Jadi ingat tom Hanks di The Terminal...:))
@ Mbak Murtafiah: Kok bisa?
karen ceritanya seputar bandara..:))
Post a Comment
I'll be glad if you leave a comment below. But, please don't spam my blog. Any comments containing spams, porn matters, harassment, and insulting words will be deleted from Luka Angin.