Sunday, October 25, 2009

Dari Jakarta ke USA - Part V

Categories: ,

Bismillahirrahmanirrahim. Di kisah sebelumnya, aku sudah sampai di Denver Airport pukul 17:31, 26 Juli 2009 waktu setempat. Di bandara inilah aku mulai merasa sebel, pusing, dan capek. Aku harus berputar-putar dulu di bandara ini lebih dari satu jam hanya untuk mencari Transfer Flight dan Gate tempat aku akan diterbangkan. Dan kali ini adalah penerbangan terakhir yang berarti episode terakhir dari "Dari Jakarta ke USA". OK, simak saja kelanjutan cerita perjalananku. Semoga bisa menambah wawasan.

Bagi yang belum baca epsode sebelumnya dan ingin membacanya, silahkan klik link berikut:


O ya, sebelum dilanjut, ada seorang pembaca di episode sebelumnya yang menanyakan makanan selama perjalanan. Alhamdulillah, aku tidak makan makanan haram, insya Allah. Saat dari Jakarta ke Singapura, aku mengggunakan Qatar (maskapai dari negeri Qatar, salah satu negeri di semenanjung arab). Pas aku tanya tentang kehalalan makanannya, si pramugari mengiyakan. Ketika perjalan dengan United Airlines (salah satu maskapainya USA), mereka tidak menyediakan menu babi. Mereka selalu memberi tahu terbuat dari daging apa makanannya. Dan kalau ada menu daging pasti yang mereka sediakan daging ayam atau sapi. Mungkin saat itu isu akan flu babi sedang santer-santernya, jadi pihak maskapai tidak menyediakan daging babi. Kalau wine sih ada. Tapi aku gak pernah minta.

Satu hal lagi, masalah shalat 10 kali dalam TANGGAL yang sama pada episode sebelumnya hanyalah sebuah hasil pemikiranku saja yang, insya Allah, didasarkan pada dalil yang jelas. Tapi hasil pemikiranku itu jangan dijadikan landasan dulu. Mungkin belum levelku untuk berijtihad dan hasilnya dijadikan landasan. Masih terlalu jauh. Silahkan cari dari sumber-sumber yang reliable. Kalau sudah dapat, silahkan beri tahu saya ya... :D


Denver International Airport

Aku melewati lorong dinamis yang menghubungkan antara badan pesawat dengan gate (Jadi aku tak perlu repot-repot turun ke bawah). Sambil menggendong ransel dan menjinjing tas laptop (ada laptopnya lho, gak kosong [menekankan kalo barang bawaannya lumayan tak ringan :D ]), langsung saja kulangkahkan kakiku menuju Baggage Claim, karena check-thru-ku cuma dari Jakarta ke Denver. Dan ternyata tempat Baggage Claim itu banyak dan tidak hanya pada satu tempat. Yang satu di pojok sini, yang satu di pojok sana, dan yang lain entah dimana. Terus, koperku ada Baggage Claim mana? Langsung saja aku cek di display board. Aku mulai mencari-cari nomor penerbanganku dari San Fransisco menuju Denver.

"Yosh, itu dia. Kejar bro...!!!" (Maaf lupa di Baggage Claim nomer berapa).



[Ini dia yang kumaksud dengan lorong dinamis (Jet Walk) yang menghubungkan antara gate dan badan pesawat.]


Aku terus cari dan mencari dengan mengandalkan papan-papan petunjuk yang ada. Putar-putar, naik-turun eskalator...

"Hmmm... Kalo berdasarkan petunjuk berarti aku harus naik train nih.." (Maaf lupa istilahnya, train, metro, ato subway ya? Yang jelas bukan submarine :D Itu merupakan kereta sebagai transportasi di dalam bandara, keknya sih di dalam tanah.)

Aku pun masuk ke train,
"Wah kayak di pelem-pelem neh..."

Keluar dari trem. Pencarian terus berlanjut. Setelah berputar-putar gak jelas, akhirnya nemu juga lokasi Bagage Claim. Fiuh...!



[Baggage Claim. Yang sudah biasa bepergian dengan airplane, pastinya gak asing dengan tempat macam ini]


"OK, saatnya liat jadwal penerbangan berikutnya"

Aku mulai mencari-cari daftar penerbangan yang ada di display board. Tapi aku tak menemukan United Airlines yang menuju ke Laramie. Setelah mikir-mikir,
"O ya, berarti bukan pake United Airlines. Mungkin ganti pesawat". Setelah kulihat tiket, memang nomor penerbangannya ZK5023Y. 2 huruf pertamanya ZK, bukan UA (yang berarti United Airlines). Aku kembali mencari di daftar yang ada pada display board. kali ini aku mencari penerbangan yang menuju Laramie. Ternyata hanya ada saru maskapai yang menuju Laramie, yaitu Great Lake. Pencarian kembali dilakukan, kali ini mencari loket Great Lake untuk transfer plane.

Sambil melangkah dengan gontai, kuseret-seret koperku yang gede. Dan aku tiba di selasar Denver Airport. Tampak banyak para penjemput yang akan menjemput para penumpang yang baru saja landing. Beberapa di antara mereka membawa papan yang bertuliskan sebuah nama.



[Inilah selasar Denver International Airport. Perhatikan di sebelah kiri taman. Di situ banyak para penjemput penumpang. Aku keluar dari koridor tersebut]


"Hmmm.. kok gak ada yang njemput guwe ya? Haiyyah... Kan belum nyampe Laramie. Ayo ah, satu penerbangan lagi. Semangat..."

Kegiatan muter-muter ini ternyata masih saja aku lakukan untuk mencari dimana loket Great Lake berada. Dalam proses pencarian, aku melihat baggace cart.

"Nah kalo pake kereta dorong itu kan gak perlu seret-seret koper...". Dan aku mendekati deretan bagagge cart.

Aku pegang satu, dan mulai menariknya dari deretan. Rodanya tuh disangkutin ke besi panjang, biar gak kemana-kemana ntuh kereta. Tapi setelah diujung besi, si kereta gak mau aku keluarin. It's stucked! Aku coba tarik-tarik, tetep gak mau keluar.

Tiba-tiba ada dua orang negro amerika yang akan mengembalikan kereta ke deretan.

"Hei, dude. You can't take the cart unless you pay five dollars", kata si negro itu sambil ketawa-ketiwi gara-gara melihat tingkahku yang teramat sangat 'ndeso'.
"Hah...?" Setelah kulihat, memang ada tulisannya.
"Hahaha... It's OK. You can take mine. Here..." kata si negro sambil ngasihin kereta dorong.
"Thank you so much". Mereka pun beranjak pergi.

Ternyata ada polisi bandara yang memperhatikan tingkahku yang bego tadi. Tampaknya dia akan mendekatiku tadi. Tapi berhubung ada yang ngasih kereta gratisan, dia kembali menjauh.

Beugh, matre juga nih state. Masa' cuma make kereta dorong beginian aja 5 dollar? Seket ewu, ndes! Dari Soekarno-Hatta ampe San Fransisco aja gratis. Lha ini kok mbayar ya? Mungkin Indonesia lebih kaya kali ya ketimbang ini state. Secara, di Soekaro-Hatta gratis gitu loh. Berarti kan emang sudah ada dananya. Sedangkan Colorado ini emang kurang dana kali yak? Ampe-ampe yang begituan dimintai biaya. Fiuh...

"Yah sudahlah, lumayan, dapat gratisan".

Kali ini aku dorong-dorong si kereta. Lumayan, beban sedikit berkurang.

Aku terus mengikuti papan petunjuk demi menemukan loket Great Lake. Dan tak jauh dari tempat aku mengambil kereta dorong, aku berhenti di depan eskalator.

"Masya Allah, jadi aku harus naik nih eskalator? Mana si kereta gak bisa naik nih eskalator lagi. Aih, ngapain juga guwe repot-repot ambil nih kereta".

Akhirnya aku kembalikan lagi tuh kereta ke tempatnya. Aktivitas seret menyeret koper kembali dilakukan. Inilah rasa dari sebuah kesia-sian... T__T

Singkat cerita, alhasil, ketemu juga tuh loket. Ternyata di salah satu pojok bandara T__T. Kalau melihat beberapa loket pesawat yang lain, mereka dipenuhi dengan antrian panjang. Lha, loket yang ini kok gak ada antriannya ya? Ya sudah, tanpa pikir panjang aku langsung urus administrasinya. Toh aku juga gak perlu ngantri. Ngomong bla...bla.. bli...bli... nunjukin passport yang sudah berisi Visa J-1, DS-2019 dan Form I-94 (form I-94 didapat dari hasil wawancara di San Fransisco, dan form-form itu gak boleh ilang!), trus nyerahin ntuh koper gede buat check-in. Dan dapat tiketnya ^_^.

Pencarian sesi 3 kembali dimulai. Pencarian gate keberangkatan.
"Nyari lagi, nyari lagi... T__T"

Kali ini aku bener-bener dikerjain sama si bandara. Sudah naik, turun lagi. Sudah turun, naik lagi. Putar sana, putar sini.

"Hah! Ini gimana sih petunjuk...?!! Katanya naik, sekarang disuruh turun.Ya kalo gak bawa apa-apa, ini kan bawa tas ransel ma tas laptop. Ini kalo kaki ada pengukur jaraknya, dah berapa kilometer aja gua jalan ya? Hadu...hadu..."

Dan ternyata, tanda panah ke bawah (gambar a) memiliki arti kalau yang Anda cari berada di level ini, bukan berarti turun. Hadu..hadu...



Bagi pembaca Note pada Facebook, mungkin akan tampak aneh bila melihat gambar di bawah. Karena Note pada Facebook tidak bisa menampilkan tag html untuk membuat table. Tag tersebut kubuat untuk menata gambar di bawah ini



a. Ada di level ini
b. Naik c. Turun


Setelah menyadari hal itu, akupun kembali melakukan pencarian lagi. Aku mulai merasakan berada di jalan yang benar. Setelah melewati koridor yang panjang, sampai juga di gate tempat aku akan diberangkatkan. Tapi kali ini aku di level paling bawah. It means, aku masuk ke pesawat gak lagi lewat lorong dinamis. Kali ini aku harus jalan di bawah untuk menuju pesawat. Pas di loket, seorang petugas cantik, sumpah kali ini benar-benar cantik (Astagfirullah, Alhamdulillah), menyambutku. Kembali ngurus admnistrasinya.

Akupun menunggu sambil duduk di kursi, dan bukan di closet. Aku baru tahu ternyata pesawat yang akan aku naiki ini bukan pesawat besar seperti yang sudah aku naiki di penerbangan sebelumnya. Pantes aja tadi di loketnya sepi. Kapasitasnya juga dikit.

Jam sudah menunjukkan pukul 7.00 pm, tapi matahari masih bersinar terik. Dan belum ada pengumuman untuk boarding.

"Lha gimana sih eneh? 15 menit lagi lho, kok belum boarding juga ya". Aku mulai gelisah.

Usut punya usut, ternyata penerbangannya bakal telat. Aduh! Padahal Mr. Shawn Bunning, my academic advisor, mau njemput. Lah kalo telat gimana coba? Aku mulai tak tenang. Aku teringat pada dua kartu telepon yang diberikan oleh Aminef dari World Learning.

"O ya, aku bisa pake tuh kartu buat nelpon Shawn. Tapi gimana make nya ya? Tanya ah..." Akupun bertanya pada seorang wanita negro berambut pendek.

"Excuse me, do you know how to use this card?" Tanyaku sambil menunjukan kartu telepon.
"Oh, I think you just follow the instruction. First, you have to... bla...bla...bla..." Dia mulai menerangkan.
"Can it work on that public phone?" Tanyaku lagi sambil menunjuk ke sebuah telepon umum.
"I think so"
"OK, thank you very much"
"You're welcome"

Langsung deh pencat-pencet nomor telepon. Dan... It works, babe...!!!
"Hello.." ada suara menjawab.
"Hello, I'm Yugo, a Fulbright Global Ugrad scholar from Indonesia. Is this Mr. Bunning?"
"O yeah. What's up Yugo?"
akupun menjelaskan duduk perkaranya kepadanya. Dan dia kedengarannya mengerti. Pembicaraan berakhir.

"Ah, nelpon rumah ah...". Aku kembali mencat-mencet nomor telepon

"Halo..." Ternyata Mbak Indah yang ngangkat. Pembantu di rumah. (Maaf kalo ada yang namanya Indah, namanya mirip ama pembantu di rumahku, hehehehe...)
"Mbak Indah, niki Yugo" Aku mulai bicara dengan bahasa jawa versi Tegal yang halus.
"Oh Mas Yugo, pripun Mas?"
"Mamah pundi, Mbak?"
"Dereng kondur Mas Yugo"
"Oh nggeh sampun, sanjangaken teng Mamah yen Yugo sampun tekan Amerika, nggeh.."
"Oh nggeh..."
"Assalamu'alaikum"
"Wa'alaikumussalam"

Ah, plong juga rasanya. Sekarang tinggal melakukan salah satu pekerjaan yang paling membosankan. Menunggu.

Jam demi jam berlalu. Tapi belum juga ada pengumuman untuk boarding. Sekitar jam 10.00 pm akhirnya tiba juga waktu boarding. Aku dan beberapa penumpang lain mulai berjalan menuju pesawat yang berkapasitas hanya untuk belasan orang. Kamipun masuk. Tak ada pramugara/i yang menyambut.

"Jiah! Kecil bet nih pesawat. Tak ada AC. Ini pesawat apa bemo terbang yak? Kok kasihan gini...?"

Kemudian, seorang cowok macho, bisa dibilang tampan, (cowok normal tentu tetep bisa ngebedain mana cowok jelek, biasa-biasa aja, ato yang tampan kan?) berseragam keluar dari kursi co-pilot. Dia memperkenalkan diri dan angkat bicara. Dia mulai memberitahu prosedur keamanan di pesawat. Setelah puas ngomong, dia kembali ke kursi co-pilot.

Pesawat, atau yang lebih mirip bemo terbang, mulai mengangkasa.

"Beugh kasar bener yak? Gluduk-gluduk gini..." Pokoknya agak jauhan lah dari yang namanya "nyaman".

Singkat cerita, pesawat sudah tinggi diangkasa. Pemandangan kota Denver, ibukota Colorado, tampak indah dilihat dari langit. Terbang dengan pesawat beginian membuat pikiran yang macam-macam muncul di kepala.

"Tapi serem juga ya. Ini kalo pesawat tiba-tiba aja mesinnya mati dan ngoenng... Bummp...!!! Badanku jadi kaya apa ya? Hmmmm..."

Sejam kemudian, tibalah kami (aku dan penumpang-penumpang yang lain) di Laramie Airport.


Laramie Airport

Begitu turun dan masuk ke ruangan, seorang pria muda tinggi semampai, berambut pirang, berkacamata tampak tersenyum memandangku. Hidungnya itu lho, beugh...!! Mancung abis. Hidungnya begitu ramping dengan punggung hidung yang tampak setajam katana (Haiyyah lebay...) dan ujung hidungnya meruncing. Baru kali ini aku liat hidung sebagus itu secara langsung.

"Hi, I'm Shawn" Dia langsung tau itu aku karena dia punya fotoku. Berasa jadi seleb hehehehe..., haiyyah...
"Hi, I'm Yugo. Nice to meet you. Have you been here for all along?"
"No, I'm from home. I was just called that your flight was delayed and wolud arrive about 11.00 pm".
Hah, ditelpon? Kalau liat cara dia bicara, ada orang lain yang meneleponnya selain aku. Jadi selama perjalanan aku tuh dimonitoring ya? Wew...

Sambil ngobrol, kami keluar menuju ke mobil. Aku terkejut. Lho, bandaranya kecil bet! Baru masuk dari pesawat menuju ruangan, beberapa langkah kemudian aku sudah di lapangan parkir. Baru kali ini aku lihat bandara sekecil ini.

Aku hendak masuk mobil. Dan ternyata aku akan masuk ke kursi supir.

"Ah iya! Ini kan USA, stirnya di kiri. Lupa aing... hadu..hadu..."

Sembari ngobrol, kami terus bergerak menuju kawasan universitas. Sabana yang terhampas luas kami lewati. Tampak ada seekor antelope diantara remang cahaya. Tampak pula rumah-rumah yang dibuat dari bahan utama kayu, lngkap dengan basement-nya. Semua rumah di sini tampaknya dilengkapi dengan basement. Dan juga, rasanya aneh berjalan di sisi kanan jalan. Pas ada mobil melintas dengan arah berlawanan, seakan-akan mereka akan menabrak kami. Ya karena kami bergerak di sisi kana jalan, yang mana aku terbiasa berjalan di sisi kiri jalan.

Tak lama, sampailah kami di depan asramaku. Berhubung aku belum makan, Shawn menawariku makan malam di Subway (salah satu restoran cepat saji, terkenal di Amrik lho gara-gara ada dimana-mana. Bahkan aku malah belum liat Mc D disini di bulan pertama) dekat asrama.

Kami masuk ke Subway. Seorang pelayan menyambut.
"^%&^G!@Vbn+_97#$$%(....?"
"Eh? Pardon me please..." Sumpah, itu pelayan ngomong apa aku gak mudeng. Cepat dan seakan-akan antar kata menyatu membentuk dengungan-dengungan tak jelas.
"&^%$#$#^(juyt*(-%$$#...?"
"What...?" Tambah bingung...

Meihat kondisi yang seperti itu, Shawn langsung ambil tindakan. Dia mulai menjelaskan semuanya. Tentang makanannya, jenis-jenisnya, semuanya, termasuk mana yang mengandung babi dan mana yang tidak. Nah, kalo dia yang ngomong aku mudeng, tapi kok pelayan itu enggak ya? Apa faktor pendidikan mempengaruhi? Kalo Shawn yang ngomong lebih bahasanya terdengar understandable dan tertata rapi. Lah kalo si pelayan itu, paham aja enggak... T__T

Setelah kelar, kami menuju ke asrama, McIntyre Hall. Shawn langsung menguruskan kartu sementara untuk tinggal di asrama. Kartu ini diperlukan supaya aku bisa masuk ke asrama. Kartu tersebut kartu magnetik yang aku perlukan untuk masuk ke asrama termasuk kamar mandinya. Masuk Asram gesek dulu, masuk kamar gesek dulu, dan masuk toilet juga gesek dulu. Kalo keluar kamar, tapi kartunya tertinggal gimana? Mampus loe...!

Setelah beres, Shawn mengantarku kamar. Di kamar, dia ngejelasin semuanya. Tentang penggunaan telepon, denah kampus, termasuk nomor kamar teman-teman yang seprogram denganku. Setelah dianggap beres, dia berpamitan dan pergi.

Aku melihat jam tangan, hampir tengah malam. Aku beranjak ke kamar mandi, setelah itu gosok gigi. Ambil air wudhu di wastafel kamar. Setelah selesai wudhu, aku keluarkan sajadah, kompas, dan catatan tentang arah kiblat yang sudah aku siapkan dari rumah.

"Hmmm... 34.066 derajat dari arah utara searah jarum jam." Persiapan selesai. Shalatpun aku tunaikan.

Setelah beberes semuanya, aku keluarkan kembali kartu teleponku untuk menelepon ibuku. Kali ini aku coba menelepon langsung ke hapenya. Soalnya kalo telepon rumah pasti ibuku belum pulang dari SD. Maklum, cuma guru SD. Dan, berhasil.

Begitu diangkat, ibuku kaget dan kedengaran gembira. Ibuku bilang dia sempat menangisi baju-bajuku, kamarku, dan semua propertiku di rumah gara-gara aku gak bisa dihubungi selama perjalanan. Apalagi ini perjalanan internasional yang aku belum pernah melakukannya sebelumnya. Jangankan terbang, ke bandara saja tak pernah. Orang tua mana yang tak khawatir. Jangankan orang tua, lha wong aku saja khawatir dengan keselamatanku sendiri kok.

Setelah ngoborol beberapa menit, kami mengakhiri pembicaraan. Waktunya untuk tidur.

"Ya sudah waktunya tidur. Besok aku harus ikut tes Bahasa Inggris". Baru nyampe tengah malam dari perjalanan jauh besoknya harus tes Bahasa Inggris. Agak sedikit gila memang, tapi ya mau gimana lagi. Lampu kumatikan dan aku mulai memejamkan mata.

Sebelum terlelap, aku merenung. Subhanallah, aku tiba di USA dengan selamat sekalipun dilalui dengan berbagai tindakan bodoh. Aku di USA. Di USA, di luar negeri. Aku hampir tak percaya dengan kenyataan ini. Seperti mendapat keajaiban. Boleh dibilang ini adalah prestasi terbesarku. Mungkin beberapa dari teman-teman pembaca blog ini menganggap belajar di USA bukan hal yang luar biasa. Tapi ini luar biasa buatku. Secara teori, keluargaku hampir tak mungkin membiayaiku untuk belajar keluar negeri. Penghasilan orang tuaku selama sebulan saja tak mencukupi untuk biaya hidupku selama sebulan di USA. Tapi Allah memiliki sifat Iradah. Dia berkehendak atas segala sesuatu, Dia berkuasa atas segala sesuatu. Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam. Dan lagi, perjalanan ini menjadi sebuah momen tak terlupakan, meninggalkan sebuah kesan tersendiri. Bahkan sampai saat ini pun aku masih merasakannya, rasa takutnya, khawatirnya, stresnya. Anyway, semuanya menjadi pengalaman berharga. Sekarang saatnya menatap masa depan. Tak lama kemudian aku pun terlelap.



TAMAT

=================
Saya ucapkan terimakasih sebesar-besarnya kepada teman-teman pembaca yang sudah rela meluangkan waktu untuk membaca blog ini. Baik yang membaca dari part I sampai part V, atau yang cuma satu episode saja. Baik yang membaca langsung di blog, ataupun yang diumpan ke Facebook. Saya tak mengira bakal sepanjang ini ceritanya. 5 episode. Semoga cerita ini bisa memberikan manfaat bagi teman-teman pembaca sekalian, amin. Dan jangan lupa untuk membaca kisah-kisah saya selanjutnya tentang pengalaman-pengalaman lain di USA.

Spread The Love, Share Our Article

Related Posts

7 Response to Dari Jakarta ke USA - Part V

October 27, 2009 at 7:38 PM

Yap saya harap Mr.Yugo bisa membuat dan melanjutkan ceritanya yang lebih seru lagi.lanjutkan!!!dan terakhir salam buat presiden Obama di Amerika.

October 27, 2009 at 10:06 PM

@ Hezti Rizki
Kamu tu Kiki to? Anyway thanks dah mau komen.. ^_^

October 28, 2009 at 8:13 AM

sorryyy tadi salah ketik jd salah kirim...
betul kata hesti lanjutkannn!!!klo bisa dibuat bukunya yaa kayak crita Andrea Hirata atau Asma Nadia.kan bisa dapat penghasilan tuh..

October 28, 2009 at 8:40 AM

@ Sang Pemimpi Dunia: Haiyyah... Kalian orang yang sama to? Anyway, thanks buat doanya. Semoga Allah memberi yang terbaik, Amin...

July 24, 2010 at 8:14 PM

jujur, impian saya sebelum lulus juga keluar negeri. ga sengaja baca satu kisah blog ini dan kemudian berlanjut ketiap postingan, subhanallah. memotivasi..

tetap semangat!!!

March 16, 2011 at 6:48 PM

Saya udah baca dari episode 1 sampe episode 5. Seru banget ya!
Bener-bener bikin saya pengen belajar di luar negeri sekaligus memotivasi saya supaya bisa dapat beasiswa juga..

April 16, 2011 at 8:56 AM

@Eliza dan Ochafardani:
Makasih ya...

Post a Comment

I'll be glad if you leave a comment below. But, please don't spam my blog. Any comments containing spams, porn matters, harassment, and insulting words will be deleted from Luka Angin.