Monday, August 30, 2010

Gara-gara USA - Part II

Categories: , ,

USA memang punya cerita. Kata-kata itu benar-benar bermakna di alam pikiranku. Tinggal di USA tak sekedar memberi cerita tentang pengalaman-pengalaman pertama, tetapi juga memiliki pengaruh dalam pola berpikir bahkan kehidupan spiritualku. Okelah, postingan kali ini, "Gara-gara USA part II", akan menyoroti tentang pengaruh tinggal di USA pada sisi spiritualku. Perlu diketahui, postingan ini berdasarkan pengalaman semata, jadi beda orang bisa beda cerita. Dan juga, postingan ini sama sekali tidak direkomendasikan untuk dijadikan acuan apapun.

Seperti yang sudah aku ceritakan pada "Aku bukanlah seorang "Ikhwan"", tinggal (kuliah) di USA bukan cuma soal senang-senang. Tapi aku juga merasakan tekanan mental dan batin. Dan yang jelas itu sama sekali tidak menyenangkan, seperti penderitaan.

Setelah mengetahui tanda-tanda kerapuhan imanku, aku tersadar bahwa aku dulu bisa seperti ini dan seperti itu karena kondisi sangatlah mendukung (agar tidak bingung, silahkan baca postingan Aku Bukanlah Seorang "Ikhwan"). Terang saja, kampusku di Indonesia dipenuhi aktivis dakwah. Tapi di USA? bisa shalat Tarawih sebulan penuh sudah alhamdulillah. Godaan dan berbagai macam pengaruh mulai bertiup menerpa. Apalagi, universitas-universitas di USA dipenuhi mahasiswa dan pengajar dari berbagai sudut dunia, dan mereka membawa pemikiran-pemikiran mereka sendiri yang tentunya satu sama lain sangat bisa untuk saling mempengaruhi. Degradasi iman benar-benar aku rasakan. Inilah yang membuat aku menjadi seorang yang tak lebih baik dari seorang munafik. Di Indonesia, dengan mudahnya aku berkata "Kalian harus begini, kalian jangan begitu...". Setelah beberapa bulan di USA, aku merasa kata-kataku mulai mencambuki diriku sendiri. Astaghfirullah...

Gara-gara hal itu aku kehilangan semangat untuk ber-"amar ma'ruf nahi munkar". Aku takut untuk mengajak "begini" ataupun mengingatkan seseorang untuk tidak "begitu". Di alam pikiranku, "Alaaah... Kayak kamu gak pernah buat dosa aja. Sudahkah kamu lupa dengan kejadian-kejadian yang lalu? Kau tak lebih baik dari seorang munafik!". Akhirnya yang aku lakukan ya "You do your things and I do my things. Your ways is your ways, and my ways is my ways". Pokoknya mikirin diri sendiri aja.


But, hey! Ada yang salah dalam cara berpikirku. Kalau begini terus, aku melalaikan salah satu kewajibanku sebagai seorang muslim, yaitu ber-"amar ma'ruf nahi munkar". Islam, sebagai Dien, mengajarkan umatnya untuk mengajak kebaikan dan mencegah dari keburukan. Gak bisa kita soleh soleh sendiri. Kalau mau soleh ya ajak-ajak temen :-D Lagian, untuk saling mengingatkan kita tidak perlu menjadi sempurna dulu. Karena memang tidak ada manusia yang sempurna. Kalau menunggu manusia sempurna ya gak bakal ada "amar ma'ruf nahi munkar" donk. Justru karena manusia tidak sempurna makanya kita perlu saling mengingatkan dalam kebaikan. Dan jika kita memberikan nasihat pada seseorang ya harusnya kita juga melakukan apa yang kita nasihatkan itu. Apa gunanya melarang orang untuk bermabuk ria kalau kita masih suka mabuk?

Dalam Alquran dijelaskan:

"Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma`ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung."
[Q:S Ali Imraan:104]

"Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma`ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka; di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik."
[Q:S Ali Imraan:110]

Akupun mulai menata ulang pola berpikirku dan mencoba mengambil hikmah dari apa yang sudah kualami. Perlahan dan perlahan... Dan sebuah pemikiran muncul, "Jadilah bijaksana dan cobalah melihat dari berbagai sudut pandang, jangan terlalu pragmatis".

Hikmah dengalaman-pengalaman di USA telah mengukir caraku berpikir untuk sedikit lebih bijaksana dalam melihat suatu permasalahan, terutama masalah hukum Islam. Aku mulai untuk selalu mencoba melihat dalam banyak sudut pandang agar bisa memberikan putusan yang sebijak mungkin. Mungkin banyak orang yang "bisa begini dan menjauhi yang begitu" (stop thinking negatively! Hehehehe...) karena mereka memiliki peluang yang cukup. Tapi bagaimana bila kondisinya berubah amat jauh dari yang diperkirakan? Masihkah mereka "bisa begini dan menjauhi yang begitu?" Hal itu membuatku untuk selalu berpikir dari banyak sudut pandang. Aku tak mau jadi munafik lagi.

Okelah, mari kita ambil contoh dari pengalamanku setiba di Indonesia; Pagi-pagi buta adzan subuh melantun. Kulangkahkan kakiku ke masjid untuk menunaikan shalat shubuh berjamaah. Di jalan aku mendapati seorang pemulung sedang ber"dinas". Langsunglah pikiranku menjatuhkan judgement,

"Parah, adzan aja baru kedengeran. Udah dinas aja dia. Kapan dia shalat shubuhnya? Parah... parah... Udah miskin, kagak shalat pula. Mau pake apa dia ntar kalo menghadap Allah nanti? Ckckckck..."

"Hey! Sudah lupakah kamu dengan prinsipmu untuk menjadi orang bijak?" Oh iya! Aku mulai mencoba berpikir dari sudut pandang si pemulung. Benar saja, si pemulung belum tentu mengerti tentang fiqih dan hukum Islam, lagian belum tentu juga dia seorang Muslim.

"Seandainya kamu yang jadi pemulung tersebut, tak ada jaminan kamu akan berbuat hal yang lebih baik dari dia. Kamu tak pernah merasakan deritanya jadi fakir miskin, jadi jangan men-judge sesuka hatimu!" Pikiranku terus bergerak meringsek keegoisanku.

Kemudian jatuhlah aku pada suatu simpulan. Meninggalkan shalat memang bukan hal yang bisa dibenarkan. Tapi kita tak bisa mendakwahi seseorang (maksudnya orang kayak si pemulung itu) dengan judgement yang bikin pedas telinga. Rasakanlah bagaimana menjadi seorang pemulung. Lihatlah dari berbagai macam sudut pandang, insya Allah kita bisa mendapatkan metode dakwah yang paling bijaksana yang bisa kita peroleh. Jadi gak ada cerita niat dakwah malah yang ada jadi rusuh. Kan banyak tuh kasus begituan...

Yup benar saja mengapa Umar Ibn Khattab sering meraba kehidupan masyarakat kelas bawah. Biarpun beliau seorang khalifah, pemimpin negara, sering sekali beliau tampak kere layaknya orang melarat. That's why beliau menjadi tokoh pemimpin yang mengagumkan. Beliau bisa merasakan apa yang orang lain rasakan sehingga kebijakannya memang bijaksana. Subhanallah...



Tapi sepenuhnya aku sadar, tetap saja ada kesilapan yang aku lakukan. Kadang-kadang aku men-judge seseorang hanya dari satu sudut pandang. Semoga Allah mengampuni hamba-Nya yang lemah ini.

Nah, ada pula kasus yang lagi nge-trend yang bisa dijadikan pembaca sekalian sebagai studi kasus. Pasti sudah pada tahu donk berita tentang Ariel Peterpan - Luna Maya dan juga sekuelnya Ariel Peterpan - Cut Tari. Apa komentar pembaca sekalian dengan kasus tersebut? Ingat, menjadi bijaksana tidaklah sama dengan menjadi permisif dan tidak tegas.

Wallahu'alam, semoga bermanfaat...

Spread The Love, Share Our Article

Related Posts

No Response to "Gara-gara USA - Part II"

Post a Comment

I'll be glad if you leave a comment below. But, please don't spam my blog. Any comments containing spams, porn matters, harassment, and insulting words will be deleted from Luka Angin.