Bagi pengguna komputer langsung saja baca di blog saya, klik:
Makna yang tadi aku jelaskan tadi adalah makna secara bahasa. Begitu kata "ikhwan" ini populer di Indonesia, maknanya jadi bergeser. Di Indonesia, sekali lagi kalau salah mohon dikoreksi, "ikhwan" berarti laki-laki alim yang kerjaannya ke masjid, hafalan Quran-nya sejibun, sering dakwah, sering syuro, kalau ngomong mesti pake istilah "ana", "antum", "akhi", "ukhti", "tafadhol", "afwan". Pokoknya yang gitu-gitulah. Kalaupun mereka punya blog, artikelnya gak bakal jauh-jauh dari yang namanya Islam.
Hmmm... Keliatannya aku (atau "ana"? Hehehe...) kudu mulai dari sejarah siapa diriku. OK, mari kita mulai!
Aku hanya seorang laki-laki yang dilahirkan di sebuah desa kecil di Kabupaten Tegal, namanya Desa Tonggara (wajar kalau pembaca tak tahu tempat ini). Aku dibesarkan bukan dilingkungan orang-orang yang paham secara mendalam akan Islam. Orang tuaku hanyalah orang yang awam dalam hal agama. Tapi hal ini tidak membuat mereka membiarkan anak-anaknya tidak mengenyam pendidikan agama. Mereka memasukkanku kedalam sebuah madrasah kecil di desa, yang saat itu SPP-nya cuma Rp 2.000,00/bulan. Disanalah aku mulai belajar agama Islam. Bahkan berkat madrasah kecil ini, aku tahu kalau shalat fardhu itu ada 5 waktu. Kirain cuma sekali sehari doank, hehehehe... Anyway, terima kasih buat Mamah, Papahku yang sudah menyekolahkan anaknya ini hingga bisa mengaji, bahkan bisa sampai terbang ke Amerika Serikat.
Dan aku juga tumbuh sebagai anak-anak laki-laki seperti pada umumya, maksudnya yang gak alim-alim banget gitu (you know what I mean, lah). Nah, semenjak masuk IT Telkom, aku mulai ada sedikit perubahan.
Meskipun IT Telkom bukanlah kampus besar, tapi kampus ini memiliki banyak aktivis dakwah. Di sanalah aku mulai tau apa namanya mentoring. Duduk melingkar, ngomongin soal agama yang dipimpin oleh seorang murabbi, itu adalah definisi pertamaku tentang mentoring. Dan entah kenapa, aku jadi sering ikut dalam kegiatan yang berhubungan dengan Islam. Intinya, aktifitas Islami di kampusku memberikan pengaruh yang signifikan dalam kehidupan spiritualku.
Di IT Telkom juga lah aku mulai mengenal Tahfidz (hafalan Quran) dan Tahsin. Dulu waktu SMA, boro-boro ngapalin Qur'an, shalat aja yang penting 5 kali sehari. Bahkan, aku pun ikut-ikutan para "ikhwan" IT Telkom untuk tidak bersentuhan, termasuk bersalaman, dengan wanita yang bukan muhrim. Yaaa.. walaupun kadang-kadang sering lupa, tempel sana, tempel sini, hehehehe... Tapi keknya, lupanya lebih sering dari ingatnya deh. Maklum, masih seorang pemula, sangat pemula.
Aku bisa melakukan hal-hal itu karena memang aku dikelilingi para "ikhwan". Jadi bisa dibilang kondisinya memang mendukung. Sampai-sampai saat mudik ke Tegal, orang tuaku dan saudara-saudaraku sempat menyebutku seorang "ikhwan". Tapi hatiku selalu mengatakan "Bukan! Aku belumlah cukup pantas!" dan aku bisa seperti itu memang karena lingkungannya yang mendukung, kalau berbeda lingkungan mungkin beda juga hasil bentukannya. Yah, iman itu memang sesuatu yang gaib. Hanya diri sendiri dan Allah lah yang mengetahui seberapa dalam iman kita. Dan diri sendiri pun terkadang sering salah ukur dengan "level" imannya sendiri.
Terus apa hubungannya dengan pengalamanku di USA? Well, sebelum berangkat ke USA, aku sering memikirkan hal ini. Aku tahu aku bukanlah seorang "ikhwan" sejati. Aku hanya sekedar mengikuti dari contoh-contoh yang diterapkan para "ikhwan" yang aku anggap baik dan benar. Aku baru pada level "mencontoh". Jadi, jika kehilangan apa yang aku contoh, kemungkinan besar bakal ada penurunan kualitas iman di berbagai sudut. Aku menyadari hal itu.
Tekanan-tekanan di USA
Sebenarnya aku tidak pernah merasa didiskriminasikan oleh warga atau pemerintah Amerika Serikat gara-gara aku bergama Islam. Mereka sangat menghargai apa yang aku yakini. Mereka dengan ramah menyilahkan diriku untukku menunaikan ibadah shalat fardhu. Bahkan aku sering diingatkan oleh seorang Amerika untuk shalat yang notabene dia adalah seorang Protestan. Wah, jadi malu, hehehehe...
Lalu apa yang menjadi tekanan? Hmmm... sebenernya aku agak kesusahan menuangkannya dalam kata-kata. Tapi okelah aku coba.
Setiba di USA, aku mendapar kelas Bahasa Inggris. Saat itu masih Summer Break. Jadi tak banyak mahasiswa yang berkeliaran di kampus. Dan juga, di kelas Bahasa Inggris, orang-orang ras Arab justru mendominasi. It means sebagian besar temanku adalah Muslim, so bulan pertama efeknya belum kerasa. Pokoknya, kisah bulan pertama di USA sudah aku ceritakan di sini.
Nah, saat masuk kuliah, Ramadhan sudah tiba terlebih dulu. Dan aku masih punya pengekang untuk 1 bulan ke depan. Karena memang aku tak mau merusak puasaku, jadi mau tak mau, aku harus berusaha dengan segenap daya dan upaya untuk mempertahankan puasaku. Kisah Ramadhan di USA juga sudah aku ceritakan di sini.
Selepas Ramadhan usai, aku mulai merasakan gelombang godaan yang besar (Bagiku mungkin besar, tapi bagi sebagian orang lain, ini bukanlah apa-apa.). Aku sangat sering menolak ajakan teman-teman. Bukan hanya ajakan bermaksiat, ataupun mengunjungi tempat maksiat, tapi juga acara-acara yang pelaksanaannya clash dengan waktu shalat. Salah satu contoh, seorang temanku mengajak ke acara pesta ulang tahunnya.
"Hi, man! This Saturday I will celebrate my birthday. I want you to come", ajaknya.
Aku tahu dia sering pesta-pesta dan bermabuk-mabuk ria dengan teman-temannya.
"Are you gonna provide alcoholic beverage on your party?" tanyaku.
"Sure", jawabnya santai.
"I'm sorry, I don't drink".
"Don't worry, I'll provide you juice and coke. C'mon, you're my friend. You have to come".
Terjadi pergulatan dalam hatiku.
"Nah, dia bakal nyediain jus ama sofdrink. Loe gak perlu ikutan mabuk. Dia udah bilang, 'you're my friend', lho. Masa sih loe tega nolak", salah satu sisi hatiku memberikan saran.
"Eh, gak bisa! Kalau tempat itu jadi tempat mabuk, berarti tempat itu jadi tempat maksiat. Loe gak boleh dateng ke tempat maksiat sekalipun loe gak ngelakuin maksiat. Lagian itu kan cuma pesta, loe kan gak ngelakuin hal-hal yang berkepentingan tingkat tinggi macam investigasi. Jadi loe gak boleh dateng!", sisi lain hatiku menolak.
"I am sorry, I can't", kataku padanya dengan nada sesal.
"Why? You don't have to drink. C'mon my friend...", dia mulai membujuk.
Aku mulai menjelaskan alasan-alasannya. Dan diapun mau menerima, walaupun raut kekecewaan jelas tergambar di mukanya. That made me so sorry, I was feel so bad to him.
Sekembalinya aku di kamarku, aku masih merasa tak enak. Hatiku mencoba menghibur diriku.
"Sudah, tak apa. Tak apa kau dinggap kampungan atau bahkan dibenci temanmu. Itu masih lebih baik daripada kau dibenci Allah. Mungkin membuat kecewa temanmu masih lebih baik daripada kamu harus membuat kecewa Allah dan rasul-Nya."
Hmmm... Apa yang engkau akan lakukan jika engkau menjadi aku, wahai Pembaca yang bijaksana?
Itu hanya salah satu contoh saja. Masih banyak cerita yang lain. Aku pun menolak pesta Halloween. Aku tahu, saat ini perayaan Halloween tidak ada kaitannya dengan agama manapun (CMIIW). Ini hanya pesta senang-senang yang sudah membudaya di tengah-tengah masyarakat Amerika Serikat. Just for fun. Tapi alasanku menolak adalah latar belakang histori dari perayaan ini. Semua orang pun tahu kalau perayaan Halloween berasal dari agama pagan yang kemudian berevolusi menjadi perayaan senang-senang. Jadi buat apa saya merayakan sesuatu yang berasal dari Paganist jaman kuno? Yang tentunya manfaatnya juga tak jelas. Tapi aku masih ngemut permen yang dibagi-bagikan saat perayaan Halloween, hehehehe... Sayang ntar gak ada yang makan :D
Bahkan saat break latihan gamelan, instrukturku, yang notebene orang Bali dan beragama Hindu, mengadakan makan-makan sebagai syukuran atas perayaan Galungan. Bagiku jelas, ini bagian dari perayaan agama lain. Maaf, mungkin benar kalau setiap agama mengajarkan kebaikan. Tapi bagiku, hanya Islam yang mengajarkan kebenaran. Mungkin pemeluk agama lain juga menganggap agamanya lah yang benar. Bagiku, jika aku berpartisipasi dalam suatu perayaan yang berkaitan dengan agama lain, berarti aku ikut mendukung suatu hal yang "tidak benar". Aku tak mau itu. Aku berusaja meng-azam-kan hatiku bahwa aku harus teguh dalam agamaku. Finally, aku lebih memilih keluar dan bergumul dinginnya udara dan salju Laramie yang membekukan tulang.Sementara di dalam kelas yang hangat, instrukturku, keluarganya, dan murid-muridnya yang hampir semuanya Americans, menikmati hidangan-hidangan nusantara khas Bali. Sedangkan aku lebih memilih menggigil kedinginan di luar. Apalagi lidahku sudah sangat merindukan masakan Indonesia. Sekali lagi, apa yang engkau lakukan jika engkau menjadi diriku, wahai Pembaca yang bijaksana?
Efeknya...
Lama-lama aku mulai merasa tersisihkan. Bukan teman-temanku yang menyisihkanku. Mereka justru sangat menghormati keyakinanku dalam Islam. Tapi diriku sendiri yang membuat aku tersisihkan. Aku tahu, letak permasalahanku bukanlah pada kondisi tempatku tinggal, tapi pada diriku sendiri. Mungkin aku tak pandai dalam memposisikan diriku pada suatu komunitas yang sangat berbeda dengan diriku. Mungkin aku tak begitu cerdas dalam bermasyarakat pada lingkungan yang baru. Nyatanya, banyak (mungkin lebih tepatnya beberapa) teman Muslim-ku yang bisa bermasyarakat dengan baik tanpa melanggar syari'ah (hanya dalam pengamatanku saja, wallahu'alam).
Terkadang aku merasa kesepian, merasa hidup tanpa arah, merasa hidup sendiri padahal aku ada di negara adikuasa dengan populasi terbesar nomor 3 di dunia. Terkadang aku merasa tak punya teman Seringkali tiap aku makan di Dining Hall, aku hanya memandangi langit Laramie dengan tatapan kosong. Entah bagaimana aku harus memecahkan masalah yang ada dalam diriku. Hal ini sering membuatku menangis dalam sepi.
Jelas, stress pun melanda. Aktifitas akademik pun ikut terpengaruh. Nilaiku drop, jatuh bebas. Makin stress pula diriku ini. Aku sangat malu dengan World Learning, organizer dari beasiswaku. Tiap kali World Learning meminta transkip nilaiku, aku jadi super stress. Tak jarang aku menendang lemari atau memukul tembok hingga tanganku nyeri-nyeri. Akhirnya terbentuklah semacam ketakutan tiap kali aku melihat foto atau nama salah satu staf World Learning. Apalagi mendengar cerita-cerita teman-temanku yang seprogram dengan aku, mereka punya banyak teman dan nilainya pun bagus-bagus. Ingin pecah rasanya kepalaku. I felt I was stupid-ass, maybe the most stupid grantee of the year!
Dadaku sudah sesak, tak tahan lagi. I want friends that I can share my misery and pain.
Thanksgiving mulai mendekat. Thanksgiving adalah acara syukurannya Americans atas kelimpahan nikmat yang dianugerahkan Tuhan pada mereka. Dahulu, acara ini dirayakan karena berhasilnya panen rakyat Amerika. Namun sekarang mereka tetap merayakannya walaupun mereka tidak bercocok tanam ataupun beternak. Yang penting ngerayain.
Salah satu teman dekatku yang berdarah campuran Amerika - Swiss, mengundangku untuk makan malam Thanksgiving dengan hidangan utama daging kalkun. Dia berjanji untuk tidak menyediakan babi untuk malam itu. Kali ini aku tak dapat menolaknya. Aku ingin hidup tanpa tersisihkan. Aku ingin bisa memasyarakat dengan komunitas setempat. Selain itu dia juga teman baikku. Salah satu sisi hatiku juga membisikkan, "Thanksgiving adalah bentuk rasa syukur. Jadi syukuri nikmat yang Allah berikan padamu. Kalau mereka bersyukur pada illah mereka, bersyukurlah kamu pada Rabb-mu yang Maha Pemurah."
Thanksgiving dinner with Americans familly
Aku tidak meng-claim bahwa apa yang dikatakan salah satu sisi hatiku benar. Mungkin juga salah. Tapi apa daya, aku tak mampu menolak ajakan temanku. Semoga Allah mengampuni hamba-Nya yang bodoh lagi lemah ini.
Kalau itu adalah suatu pelanggaran Syariah, maka tentunya saya sudah banyak pelanggaran lain yang aku lakukan. Cerita Thanksgiving hanya salah satu contoh saja. Masih banyak peristiwa yang lain. Anyway, kini aku mulai menyadari betapa rapuhnya iman yang aku miliki. Tiap kali aku memikirkan hal itu, aku menjadi ingin menangis.
Finally...
Lalu apa kesimpulannya? Aku menyadari bahwasannya aku bukanlah seorang "ikhwan". Dulu, aku sempat menjadi Asmen (asisten mentor) yang medampingi seorang mentor saat mentoring Agama Islam pada adik-adik kelas. Dan kini aku mengucapkan "Alhamdulillah" karena aku tidak terpilih menjadi seorang mentor. Bila terpilih, aku akan merasa menjadi orang yang paling munafik. Memang Allah tahu sebatas mana iman hamba-Nya bisa bertahan.
Namun demikian, bukan berarti aku menjadi luntur tiap kali ada ajakan dari teman. Aku tetap menolak ajakan teman-teman untuk datang ke bar atau pub sekalipun mereka mengatakan kalau aku bisa memesan coke saja. Aku juga masih shalat 5 waktu, puasa, dan juga rutin ke masjid tiap jumat. Aku juga tak melakukan free sex walaupun free sex adalah hal yang biasa. Aku masih memiliki sedikit dinding iman yang menjagaku.
Demikian curhat-ku kali ini. Semoga bisa memberikan tambahan pengetahuan bagi pembaca sekalian.
---
Cerita ini didasarkan pada pengalaman nyataku, namun harus kuakui aku tidak menceritakan seluruhnya. Yang aku ceritakan hanya sebagian saja. Mengapa? Karena tak mungkin bagiku untuk menelanjangi diriku sendiri di muka umum. Terlalu banyak noda yang ada pada diriku...
6 Response to Aku Bukanlah Seorang "Ikhwan"
Hmm, kayaknya di US serem juga,,any advice for me? -rully-
@ Rully
Serem enggaknya keknya tergantung orangnya deh. Mungkin akunya saja yang lemah iman dan kurang pandai memposisikan diriku di tengah-tengah masyarakat. Sarannya mungkin; carilah teman-teman seiman yang ada di JALAN YANG BENAR sebanyak mungkin...
cari teman seiman d jalan yang benar (only)? Although as the consequences we'll only have little friend? hmm, confuse. rully
@Rully
Not "only". I said as many as possible. Why? They can remind each other when one of them is on a wrong way. By joining (right) jamaah your iman will be kept. But you also need make a friend with all people that is possible to be your friends. What I experienced is because I lacked of joining dakwah activity. If you have many friends that have same iman, it will help you so much :)
cerita kehidupan yang menarik..
semoga istiqomah dalam kebaikan, salam kenal..
@ ulfahuswatunhasanah:
Terima kasih, salam kenal juga... :)
Post a Comment
I'll be glad if you leave a comment below. But, please don't spam my blog. Any comments containing spams, porn matters, harassment, and insulting words will be deleted from Luka Angin.