Monday, August 20, 2018

Ketika Saya Memilih Jalan yang Sulit

Alhamdulillah, akhirnya Allah memberi saya kesempatan untuk melanjutkan studi Strata 2 (Master), walau harus melewati berbagai drama kehidupan. Yah, seperti yang Allah firmankan dalam Alquran, "Innamal khayatud dunya la'ibuw wa lahwun...", sesungguhnya kehidupan dunia hanyalah permainan dan senda gurau. Oke, gak nyambung.

Kok jalan yang sulit? Hmmm... Gimana yah. Tahun 2012 saya menjadi sarjana dan mulai memasuki jenjang karir pada dunia kerja. Dari tahun itulah saya mulai menikmati uang hasil kerja sendiri dengan hasil yang 'proper'. Uang hasil kerja saya kumpulkan sedikit demi sedikit. Yah, untuk modal membangun keluarga kelak. Walau sampai sekarang gak nemu-nemu juga yang cocok, wkwkwkwk... Di saat kondisi seperti itu, mungkin sebagian orang mungkin lebih memilih karir dan kehidupan yang settle, daripada kembali ke bangku kuliah, ngekos lagi, ngerjain tugas lagi, dan sederet kegiatan mahasiswa lainnya. Namun, saya memutuskan untuk resign dari pekerjaan dan melanjutkan kuliah. Saya sadar, tak ada yang menjamin 100% bahwa dengan saya kuliah, saya akan menjadi pribadi yang saya cita-citakan. Tak ada. Tak ada garansi bahwa kondisi finansial saya akan menjadi jauh lebih baik daripada waktu saya masih kerja dulu. Tak ada. Namun, saya ambil resiko itu. Bukankah hidup itu pengorbanan? Bukankah untuk mennggapai bintang kita harus berusaha dengan segala daya dan upaya yang kita miliki. Tidak menjamin berhasil memang. Tapi tidak melakukan apa-apa akan menjamin kita untuk gagal meraih mimpi. Takkan lari gunung kau kejar, tapi takkan sampai bila tak kau daki. Begitu kira-kira.

Lah, emangnya apa sih yang mau dicari dari belajar Master? Mau jadi dosen? Enggak, sih. Untuk soal alasan mendasar untuk melanjutkan jenjang Master kayaknya bakal perlu kisah dengan judul tersendiri, deh. Gak cukup kalo diceritakan di sini, hehehe...

Anyway, mungkin sebagian orang beranggapan bahwa saya agak terlambat mengambil jenjang Master ini. Mungkin benar juga sih, hahaha... Banyak teman-teman saya yang kini sudah mengambil jenjang Doktoral di luar negeri, beasiswa pula. Bahkan adik kelas saya sudah banyak yang menyandang gelar Master. Yang tak melanjutkan kuliah pun banyak yang sudah melanglang buana, berkeliling dunia, dan memberi kontribusi kepada manusia dengan prestasinya yang berjuta. Saya? Kuliah S2 saja baru mau mulai. Tertinggal banyak langkah nampaknya. Sampai-sampai ada yang mengatakan, "Ngapain sih lu, pake S2-S2 segala. Kawin dulu, lu tuh dah tua tauk!" Jlebbb... Hikss, tak apalah, kan katanya tiap orang memiliki zona waktunya sendiri-sendiri (ini lebih ke arah "menghibur diri" sih, wkwkwk...). Yah apapun itu, semoga kedepannya saya masih diberi kesempatan untuk berhasil dan menjadi manusia yang bermanfaat, sebagaimana dipesankan oleh Rasulullah SAW, "khoyrunnas anfa'uhum linnas", sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi orang lain. Amin. Yang baca bilang amin juga donk, hahaha...

Well, sebenarnya ide untuk melanjutkan studi master sudah ada dari dulu. Bahkan sebelum saya masuk kuliah Strata 1 (bachelor). Namun, mimpi ini sempat terkubur dan terlupakan selama bertahun-tahun. Awalnya saya berkeinginan untuk kuliah di Inggris, dan praktis Chevening menjadi sorotan saya. Sayangnya, beasiswa bergengsi ini mensyaratkan pelamar harus sudah memiliki pengalaman kerja minimal 2 tahun. Oh ya sudah, kerja dulu lah. Begitu pikir saya. Dan ternyata, saya keterusan bekerja hingga 5 tahun. Kemampuan Bahasa Inggris? Jangan ditanya, degradasi dimana-mana.Hingga pada pertengahan 2016, saya azzamkan hati untuk menggali kembali mimpi yang sudah tertimbun rutinitas harian. Saya mulai bergabung dengan Indonesia Mengglobal dan belajar banyak tentang dunia scholarship termasuk academic writing bersama mentor saya waktu itu. Bulan Desember 2016 saya putuskan untuk mengambil unpaid leave dari perusahaan agar saya bisa belajar IELTS. Dan saya memilih Pare Kampung Inggris sebagai tempat pertapaan saya.

Singkat cerita, setelah melalui drama ini dan itu (dramanya juga bisa dibikin cerita tersendiri, loh, hahaha...), saya memilih Monash University sebagai tempat tujuan belajar dan Master of Business Information System sebagai subjek studi, bukan kampus-kampus kenamaan di UK. Saya pun ambil tes IELTS dengan modal hasil belajar di Pare, buat essay lalala lilili, translate ijazah ke dalam Bahasa Inggris dengan bantuan penerjemah tersumpah. Setelah dokumen untuk mendaftar kampus dirasa lengkap, termasuk transkrip IELTS, saya apply tujuan studi yang saya minati itu dengan bantuan IDP. Setelah mendapat Unconditional Offer Letter, saya memupuk kepercayaan diri saya untuk mendaftar beasiswa LPDP reguler. Dan, alhamdulillah, tahap demi tahap berhasil saya lalui. Dengan kemudahan dari-Nya, wejangan-wejangan teman dan mentor, dan doa-doa dari keluarga tercinta, saya dinyatakan lulus. Sampailah saya di sini sekarang, Melbourne yang katanya kota pendidikan. Salah satu kota ternyaman untuk ditinggali di muka bumi. Katanya.

Jalan perjuangan masih panjang, dan itu harus saya lalui. Mungkin tidak semudah jalan waktu saya bekerja dulu, tapi Allah berfirman, "Inna ma'al 'usri yusroo", sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan-kemudahan. Oleh karena itu, saya mohon doa para pembaca sekalian yang budiman agar saya memperoleh ilmu yang bermanfaat, berhasil meraih apa yang saya cita-citakan, dan mampu memberi kontribusi yang nyata kepada masyarakat dimanapun saya berada. Dan semoga doa-doa yang pembaca panjatkan juga kembali kepada diri pembaca sekalian.

Ya Allah, limpahkanlah kebaikan atasku dan atas orang-orang yang menuntut ilmu dalam kelimpahan yang penuh berkah. Janganlah Kau jadikan jalan kami payah dan bermasalah, Amiin...

Salam sukses!


---
By: Yugo P. Ananda, Melbourne, 20180619

Friday, September 7, 2012

Waktu dan Kenangan

Akhir pekan aku berencana untuk pergi ke Bandung. Bukan untuk apa-apa, hanya untuk mengirimkan sepeda motor yang ada di rumah kontrakan ke kampung halaman. Sekaligus menghilangkan kepenatan dari hiruk-pikuk Jakarta dan rutinitas kerja sehari-hari. Kupesan tiket round-trip kereta api Argo Parahyangan tujuan Gambir-Bandung dan sebalikanya seminggu sebelum jadwal keberangkatanku.

Aku seorang fresh-graduate, dan baru bekerja di tempat ini selama sebulan. Sebagaian barang-barangku masih ada di Bandung. Yah, sepertinya suratan takdir membawaku ke ibu kota, kota terbesar di Indonesia dengan segala keberagaman dan keunikannya. Macet, polusi, dan panas menyengat hal yang umum disini. Lambat laun aku menjadi terbiasa dengan kondisi itu, menjadi bagian dari hidupku.

Malam akhir pekan pun tiba. Hari jumat pukul 19:00 WIB aku mohon diri kepada Project Manager, dan rekan-rekan lain yang masih di kantor. Setelah berpamitan, kuayunkan langkahku menuju Stasiun Gambir. Kebetulan kantor client-ku tidak jauh dari stasiun, sehingga cukup berjalan kaki untuk menjangkau Stasiun Gambir.

Sebenarnya head office-ku ada di kawasan Mega Kuningan, sebuah kawasan elit di Jakarta. Sebagai seorang konsultan IT, jarang sekali aku masuk ke head office. Aku lebih sering ke kantor client dimana aku meng-handle project. Dan kebetulan kantor client-ku berada di Gambir, tak jauh dari Stasiun Gambir. Tegaknya Monumen Nasional pun bisa aku lihat setiap pagi dan malam saat pulang dari kantor.

Setelah makan malam di sebuah restoran di Statsiun Gambir, aku langsung menuju peron dan masuk ke dalam kereta. dan pukul 20:25 WIB kereta bergerak menuju Bandung. Aku duduk ditemani seorang wanita yang membawa ayam goreng dalam sebuah kotak makan siangnya untuk disantap sebagai makan malam. Tak ada yang istimewa selama perjalan. Pukul 23:30 WIB aku tiba di Stasiun Bandung.

Aku keluar dan langsun mencari Taksi. Dengan Rp 25.000,00 aku tiba di rumah kontrakanku pada dini hari.

Aku keluarkan kunci rumah kontrakanku, dan segera aku masuk ke dalamnya.

"Assalamu'alykum" kuucapkan salam pada segenap isi rumah. Tak terdengar ada jawaban. Ya, karena memang tak ada orang. Hanya aku sang penghuni rumah kontrakan ini.

Sejurus kemudian, aku sudah di lantai dua dimana kamarku berada. Aku melihat meja lingkar beserta kursinya yang tertata rapi, diatasnya terdapat seperangkat alat tulis, tissue, dan sebuah cooler pad yang biasa aku gunakan untuk mengurangi panas laptop. Langsung saja terbayang di benakku kisah lalu saat aku sedang sibuk mengerjakan Tugas Akhir (skripsi/bachelor thesis) demi tercapainya gelar sarjana. Aku mulai membayangkan diriku yang dahulu duduk di kursi itu dengan pandangan serius menatap laptop yang layarnya dipenuhi baris-baris kode Matlab. Wajah yang frustasi karena galat pada program tak kunjung terselesaikan, sinar wajah yang meredup karena kurang tidur. Kupandangi papan tulis di dinding. Di situlah aku menulis rumus, menumpahkan segala ide desain untuk program yang aku buat. Aku membayangkan diriku dahulu yang sering termenung menatap papan tulis, terus berpikir untuk mendapatkan desain dan algoritma yang tepat.

Namun semua telah menjadi masa lalu, tertinggal menjadi sebuah kenangan. Aku pun duduk di kursi yang bisa berputar dimana dulu aku duduk untuk mengerjakan Tugas Akhir. Aku termenung, dan kemudian tersenyum. Sebuah kenangan yang takkan terlupakan. Ah, cepat sekali waktu berlalu. Serasa baru kemarin aku merasakan gundah gulana karena Tugas Akhir, dan sekarang aku adalah seorang konsultan IT, seorang insinyur yang muda dan minim pengalaman.

Malam semakin larut, beberapa jam lagi sang fajar akan menyapa langit Bandung. Ku putuskan untuk merebahkan badanku, mengistirahatkan tubuh yang mulai lelah diserang kantuk.

Keesokan harinya, sabtu pagi, aku menuju mall terbesar di Bandung, Trans Studio Mall, untuk berbelanja snack dan pakaian. Bukannya aku seorang shopping boy, tapi memang saat itu saya membutuhkan pakaian gara-gara tempat laundry aku berlangganan dibanjiri customer, akibatnya pakaianku baru selesai beberapa hari lagi. Aku tak mau kehabisan stok pakaian di lemari.

Trans Studio Mall, Bandung

Entah karena perasaanku saja yang terbiasa dengan hiruk-pikuk Jakarta atau memang sedikit orang yang keluar, aku merasakan jalanan kota Bandung agak sepi. Apalagi ketika berada dalam mall. Hanya segelintir orang. Sesekali terdengar teriakan pengunjung yang menikmati wahana roller-coaster ketika aku masih di sekitar lobby mall.

Setelah mendapatkan apa yang aku inginkan, aku kembali ke rumah kontrakan untuk meletakkan barang-barang yang aku beli dan berangkat lagi menuju tempat pencucian motor. Setelah sepeda motorku tampak bersih, aku menuju ke biro kargo untuk mengirimkan sepeda motorku. Dan aku kembali ke kontrakan dengan menggunakan transportasi umum.

Minggu sore aku menuju ke Stasiun Bandung untuk kembali ke Jakarta. Sesaat sebelum berangkat, aku pandangi ruangan kerjaku, tempat aku mengerjakan Tugas Akhir. Sekali lagi kenangan itu membayang. Aku tersenyum. Dan aku pun meninggalkan rumah kontrakanku menuju Jakarta. Meninggalkan sepenggal kisah lama dan menuju petualangan yang baru saja adimulai.

Monday, June 18, 2012

My Poor GPA Semesters

I am neither in a dean list, a genius, nor a student with cum-laude GPA. Even I took a long time to graduate (yeah, how could I be in dean list or a cum-laude student while I took a longer time to graduate?). And I know, my GPA is not something I can be proud of. And I'm not saying that GPA is everything. But still, if you're a university student, you do need a good GPA.

If you wanna get employed, you will need a good GPA. If you wanna get scholarship, you will also need a good GPA. Yeah, it doesn't have to be a cum-laude one, but if you have a cum-laude one, it's gonna be better. I am not saying your GPA determine your success in the future. But your GPA is kinda a "gateway" to enter your employment world. GPA doesn't describe how smart are you, but it describes how hard you worked and studied in your university. Well, that's only my opinion. I can be wrong.

So why am I telling you all of these? Don't worry, I won't lecture you to study. But I just wanna share my story, so you won't do the same mistakes. I ever got bad GPA semesters, really bad ones. Because of this, I had to retake some courses in the semesters after.

GPA Semesters

Can you see the graph? I did well in the 1st semesters, but my GPA semester kept decreasing until the 4th semester. At that time, I just played around. I knew, I was entering engineering world but I didn't study well. And you can see the result. All praise to Allah, I could fix the mess I made in the 5th and 6th semester. Yeah, they were still ordinary GPAs.

Btw, I got student exchange scholarship to University of Wyoming, USA, so I took academic leave for 2 semesters (semester 7 and 8) from Telkom Institute of Technology, Indonesia. And for particular reasons, I didn't take any courses in the 10th semesters. So I dropped those semesters from the graph. Anyway, I didn't know why World Learning granted the scholarship to a so-so student like me. I wonder, may be there was a mistake during the selection process. Who knows? Hahahaha...

Thanks to Allah, I learnt many things from my experience in the USA, including what hard work is. I realize, success is not born, but it's made. To make your success, you don't have any ways but work hard.

After coming back from USA, I tried to study harder in the 9th semester. I woke up in the middle of the nights (uhm... I mean in the very early mornings) to do extra study. I did this because I knew I was (and "am") not a genius. And the my GPA semesters increased, until the last semester in Telkom Institute of Technology. Ups, sorry, I think it's fine to show off a little bit after I got hell-like GPA semester in the 2nd and 3rd semester, hahaha....

So? Only one message, "Work hard!". Keep your faith! You gotta believe that you can make it if you keep working hard.

That's all. Thanks for reading :)

"... Allah changeth not the condition of a folk until they (first) change that which is in their hearts. ..."
[Q:S Ar-Ra'd:11]

Sunday, April 22, 2012

Seperti Apa Keadilan dan Kesetaraan Gender Itu?

Telinga saya tergelitik mendengar suara-suara di luar sana yang meminta penyetaraan gender. Hak dan kewajiban  laki-laki dan perempuan harus setara, setara di sini setara di sana, dan banyak lagi. Dan semakin marak ketika wacana RUU KKG (Kestaraan dan Keadilan Gender) di-blow up oleh media. Banyak wanita mendukung, banyak pula wanita yang menolak. Lalu apa itu Kesetaraan Gender? Dan apa pula Keadilan Gender? Lagi-lagi saya hanya ingin menyampaikan sepintas pendapat saya. Hanya pendapat, I can be wrong. Dan pendapat-pendapat saya ini memang jelas terdapat pengaruh ajaran Islam. I am a Muslim, anyway.



Dalam draft RUU KKG disebutkan (mohon maaf kalau ternyata terdapat draft versi yang lebih baru) bahwa:
Kesetaraan Gender adalah kesamaan kondisi dan posisi bagi perempuan dan laki-laki untuk mendapatkan kesempatan untuk mengakses, berpartisipasi, mengontrol, dan memperoleh manfaat pembangunan di semua bidang pembangunan.

Keadilan Gender adalah suatu keadaan dan perlakuan yang menggambarkan adanya persamaan hak dan kewajiban perempuan dan laki-laki sebagai individu, anggota keluarga,masyarakat, dan warga negara.
*Draft RUU KKG bisa Anda unduh di internet. Silahkan googling saja. Banyak kok.

Kita manusia Indonesia, manusia yang sudah merdeka (literally), di mana diskriminasi gender seharusnya tak ada lagi. Saya rasa di jaman sekarang, di Indonesia, jarang sekali terdengar kasus diskriminasi gender. Di negara ini, wanita boleh-boleh saja jadi dokter, jadi ahli hukum, menteri, bahkan presiden (dan Megawati menjadi presiden pertama Indonesia). Bahkan ada kok yang jadi supir, kuli, atau tukang becak. Well, saya tidak sedang membahas seberapa boleh wanita bisa bekerja di sini. Yang jelas negara ini tidak melarang wanita melakukan pekerjaan-pekerjaan yang saya sebutkan di atas. Masyarakat juga tampaknya nrima-nrima saja kok. Lalu, di mananya yang tidak setara? Mau sesetara apalagi?

Dulu, di jaman Kartini hidup (dan saya pun tidak membahas mengenai kontroversi dan konspirasi tentang Kartini di sini), keadaannya memang terdapat diskriminasi gender. Wanita tidak boleh sekolah tinggi-tinggi, kerjaannya cuma dapur-sumur-kasur, dapur-sumur-kasur. Yang lain gak boleh. Ya jelaslah, yang begini ini yang mendzalimi wanita. Wanita akan menjadi bodoh jika diperlakukan seperti itu. Bagaimana bisa wanita bisa membesarkan anaknya dengan cerdas kalau sekolahnya saja cuma sampai SD? Bisa-bisa terlahirlah generasi bodoh dan terjajah. So, sangat benar jika wanita juga harus menjadi terdidik, harus jadi pintar. Wanita adalah tiang negara. Di jaman sekarang, berapa saja wanita Indonesia yang sudah menjadi doktor dan profesor? Banyak, Saudara-saudara!

"...Wanita adalah tiang negara..."

Berikut salah satu isi surat Kartini tahun 1902:
“Kami di sini memohon diusahakan pengajaran dan pendidikan anak-anak perempuan, bukan sekali-kali, karena kami menginginkan anak-anak perempuan itu menjadi saingan laki-laki dalam perjuangan hidupnya, tapi karena kami yakin akan pengaruhnya yang besar sekali bagi kaum wanita, agar wanita lebih cakap melakukan kewajibannya; menjadi ibu, pendidik manusia yang pertama-tama.”
Anda lihat, betapa mulianya pekerjaan wanita itu? Pendidik manusia yang pertama-tama.

Dalam opini saya, wanita dan pria memang setara. Tapi mereka tetaplah berbeda, baik fisik maupun psikologinya. Mereka memiliki kodrat dan fitrahnya masing-masing. Mereka memiliki peranannya sendiri yang tidak bisa digantikan. Peranan mereka saling melengkapi, tidak bisa mereka berjalan sendiri -sendiri, pria tanpa wanita, atau wanita tanpa pria. Mereka membutuhkan satu sama lain. Di hadapan Tuhan, semua manusia itu setara. Yang membedakan hanyalah ketakwaannya. Yang bertakwa, dialah yang mulia lagi berderajat tinggi tanpa peduli dia itu anak siapa, jabatannya apa.

"...Peranan mereka saling melengkapi, tidak bisa mereka berjalan sendiri-sendiri, pria tanpa wanita, atau wanita tanpa pria. Mereka membutuhkan satu sama lain..."

Saat kita berbicara keadilan, maka "adil" itu tidak sama dengan kata "sama". Adil itu sesuai dengan apa yang telah diperbuatnya atau kewenangannya. Seorang pencuri ayam tidak bisa dihukum seperti koruptor yang mencuri milyaran rupiah uang rakyat. Dan kewenangan seorang manager juga tidak sama seperti kewenangannya karyawan biasa. Masing-masing memiliki porsinya. Jika semua disamaratakan, yang terjadi justru ketidakadilan. Akan tidak adil jika seorang direktur dibayar setara dengan buruh, kan?

Apakah hak dan kewajiban wanita dan pria sama? Maka dalam opini saya, saya menjawab, tidak sepenuhnya sama. Mungkin benar jika wanita punya hak untuk memperoleh pendidikan yang sama dengan pria. Mungkin benar jika wanita memiliki hak untuk diperlakukan sama di muka hukum negara ini. Tapi untuk sebagian kasus lain, hak dan kewajiban mereka tidak bisa disamakan. Mengapa hak wanita berbeda dengan pria? Karena memiliki kewajiban yang berbeda. Kewajiban yang berbeda melahirkan hak yang berbeda pula. Seperti pada paragraf sebelumnya, manager memilik kewajiban yang berbeda dengan karyawan biasa, sehingga melahirkan hak dan kewenangan seorang manager tidak bisa disamakan dengan karyawan biasa.

"...Kewajiban yang berbeda melahirkan hak yang berbeda pula...."

Lalu dimana perbedaannya? Pria menjadi pemimpin keluarga, wanita menjadi pembimbing anak-anaknya. Di situ saja sudah berbeda kewajibannya. Yah, Anda sekalian tahulah perbedaan tugas suami dan istri. Rasanya tak perlu saya bahas di sini. Pada dasarnya pria itu pemimpin. Ya saya tau benar, di luar sana banyak sekali pria-pria pecundang yang tak bisa memimpin dengan becus, yang menelantarkan anak dan istrinya. Asal Anda tahu, menjadi pemimpin yang baik itu pilihan. Mereka yang seperti karena tidak mau menjadi pemimpin yang baik. Anyway, ini tidak merubah kodrat pria sebagai pemimpin. Kita lihat saja pemimpin-pemimpin besar dunia. Mungkin benar terdapat yang wanita diantara mereka, tapi tetap lebih besar jumlah prianya kan? Sejarah sudah membuktikannya.

Lalu apakah wanita itu lebih rendah daripada pria? Siapa bilang? Siapa bilang menjadi pembimbing dan pengajar anak-anak tidak semulia menjadi pemimpin rumah tangga? Siapa bilang mengurus anak tidak semulia mencari nafkah untuk menghidupi keluarga? Siapa bilang pemimpin itu selalu lebih mulia dari yang dipimpin? Siapa bilang?

Lalu keadilan macam apa yang diinginkan? Keadilan memporeh pendidikan sudah disebutkan dalam UU Sisdiknas, keadilan di muka hukum juga sudah disebutkan dalam UUD 1945. Yang bagaimana? Apakah wanita lajang boleh tidak mengindahkan perintah ayahnya untuk tidak pulang larut malam? Apakah wanita juga ingin menjadi imam dalam shalat untuk suami dan anak-anaknya? Apakah wanita juga perlu mendapat hak waris yang sama dengan pria? Yang seperti itu? Entah kenapa para dewan yang terhormat disibukkan dengan hal macam ini. Satu hal lagi, pria memiliki tanggung jawab dunia dan akhirat kepada istrinya. Apakah wanita juga ingin memiliki tanggung jawab macam ini kepada suaminya? Saya yakin tidak. Untuk sekilas (sekilas doank) tentang hak waris sudah saya tulis artikelnya di: http://yugoananda.blogspot.com/2010/12/stop-complaining-girls.html

Saya sudah mengatakan bahwa kondisi fisik dan psikologi wanita berbeda dengan pria, apa iya masih tetap mau disama-samakan? Mau disamakan seperti apa? Saya pun mengakui wanita itu mahluk Tuhan yang indah, penuh kelembutan dan kecantikan. Sudah sewajarnya pria yang melindungi wanita dan bukan sebaliknya.  Jadi sekali lagi, mau disamakan seperti apa? Apa wanita juga ingin muncul sebagai pelindung kaum pria? Apa mau wanita disuruh angkat-angkat barang-barang berat? Tidak, kan? Ataukah, pokoknya disamakan, giliran yang gak enak dikembalikan ke laki-laki? Apakah maunya pria dituntut melakukan tugas-tugas wanita di rumah tangga, tapi giliran wanita diminta melakukan tugas-tugas pria di rumah tangga kemudian menolak?  Itu kan namanya cari enaknya doank. Masa' iya, wanita disuruh benerin genteng,  nambal pipa bocor? Ya saya juga tau, terkadang suami dan istri perlu men-switch tugasnya dikarenakan suatu hal. Tapi bukan itu esensinya, dan tetap saja segala sesuatunya akan lebih baik jika suami mengerjakan tugas suami, istri mengerjakan tugas istri. Wanita adalah wanita, pria adalah pria. Tak tergantikan.

"...Wanita adalah wanita, pria adalah pria. Tak tergantikan..."

Saya sendiri jadi bingung emansipasi itu yang seperti apa. Kebanyakan yang saya lihat di masyarakat, kalau ada hak-hak pria yang tampak menyenangkan, wanita ingin juga memilikinya. Giliran kewajiban pria yang tampak tidak menyenangkan, wanita tidak mau menerimanya. Pas berebut angkot, "Eh, ladies first... Ladies first..." giliran angkat-angkat, "Yang cowok donk, gimana sih?" Jadi bagaimana? Hanya persamaan hak, tanpa persamaan kewajiban? Lalu keadilannya dimana? Saya tanya, apakah wanita pantas diminta untuk ronda tengah malam? Tentu tidak. Kenapa? Karena wanita dan pria itu berbeda. Ingat, perbedaan kewajiban melahirkan perbedaan hak. Maka menjadi sangat tidak adil jika kewajibannya berbeda tapi haknya sama.

"...Saya tanya, apakah wanita pantas diminta untuk ronda tengah malam? Tentu tidak. Kenapa? Karena wanita dan pria itu berbeda..."

Well, sebenarnya saya cuma ingin mengkritisi penyusunan RUU KKG ini. Saya hampir tidak melihat poin-poin baru dalam RUU tersebut. Jadi seperti buang-buang tenaga para dewan ini. Tapi saya juga tidak melihat keterkaitan RUU ini dengan lesbian atau perkawinan sejenis seperti yang ditakutkan para penentang RUU ini. Toh, kekerasan rumah tangga yang dilakukan suami terhadap istri bisa digugat di muka pengadilan. Dan pemerkosaan yang dilakukan pria terhadap wanita juga dianggap kriminal dan ada sanksi pidananya.

Jadi kesimpulannya apa? Wanita dan pria memang setara, tapi fungsi dalam masyarakat itu berbeda. Kewajibannya juga beda. Dan asal Anda tahu, pekerjaan pengajar generasi pertama-tama adalah pekerjaan mulia, dan itu dianugerahkan kepada kaum Hawa. Jika Anda seorang ibu, maka peran Anda sebagai pengajar dan pengasuh anak-anak Anda tidak bisa tergantikan. Wanita memiliki posisi yang penting.

"Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan."
[An-Nahl:97]  

"Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka..."
[Sebagian dari An-Nisaa':34]


*Komentar yang membangun dengan bahasa yang baik lebih diutamakan :)

Wednesday, March 14, 2012

Jujur Itu...

Ketika Anda mengatakan sesuatu yang tidak Anda lakukan maka Anda dikatakan telah berlaku tidak jujur. Atau mengatakan tidak melakukan apa yang Anda lakukan juga bisa disebut tidak jujur. Lalu apakah kejujuran itu? Hmmm... Apa ya? Mungkin kesuaian antara laporan dan fakta di lapangan, atau kesesuaian antara perkataan dengan perbuatan. Well, Anda definisikan sendiri saja :)

Tapi buat saya, kejujuran tidak hanya pada tingkah laku yang nyata saja. Tapi juga pada hati. Saya menyebutnya sebagai Kejujuran Hati (bukan lagunya Kerispatih, lho yaa...). Apa itu kejujuran hati? Let me share my thought.

*O iya, ini hanya buah pemikiran saya. Mungkin tidak berlaku bagi orang lain.

Uhmmm... Mulai dari mana ya...? Mungkin mulai dari yang difavoritkan anak-anak muda aja (terutama cewek). CINTA. Ce ileee, cinta..? Galau nih? Well, enggak juga sih. Cuma berusaha memulai dari sesuatu yang populer supaya mudah dimengerti, hehehe...

Kalau di film-film percintaan, mungkin Anda pernah melihat salah satu karakter utama yang mulai galau gara-gara jatuh cinta dengan karakter yang lain. Si tokoh utama ini gak mau mengakui kalau dia jatuh cinta dengan (sebut saja) si A.

"Hah? Jatuh cinta ama cowok itu?. Gak mungkin...!!!"

Makin si tokoh utama ini berbohong pada dirinya sendiri, makin tersiksa dia. Namun begitu si tokoh utama mengakui kalau dirinya jatuh cinta pada si A, barulah dia mulai sedikit tenang. Setidaknya tidak segalau sebelumnya.

Nah, yang kayak begitu, saya menyebutnya sebagai ketidakjujuran. Tidak jujur dengan hati sendiri. Begitu si tokoh utama ini jujur pada diri sendiri, dia mulai sedikit tenang. Itu sebuah contoh saja. However, bohong model begini memang menyiksa. No other way, but be honest to your heart! Malah curhat... :D

*Untuk masalah cinta-cintaan saya sudah menuliskan sebuah artikel yang bertajuk, "Saat Cinta Menyapa"

Saat Bulan Ramadhan tiba, mungkin Anda beberapa kali melihat status-status yang kurang lebih berbunyi seperti berikut:

  • "Alhamdulillah, sudah dua kali. Back to Al Fatihah"
  • "Subhanallah, nikmatnya menghabiskan 2/3 malam untuk bermunajat pada-Nya"
  • "Lega sekali rasanya setelah bersedekah..."

Mungkin sang peng-update status meng-claim bahwa status itu sekedar untuk memotivasi orang lain untuk melakukan hal yang sama atau bahkan yang lebih baik. Wah, kedengaran mulia sekali. Tapi tunggu, memovitasi hal demikian melalui status Facebook? Walaupun sah-sah saja, tapi di mata saya ini lebih dekat kepada riya daripada memotivasi. Jika Anda ingin memotivasi, maka tunjukkanlah melalui perbuatan Anda, bukan melalui update status. Contoh yang nyata lebih mudah untuk diteladani daripada hanya melalui kata-kata saja. Lagipula, sang pembaca status juga tidak tahu apakah Anda benar-benar melaukukannya atau tidak. Mereka hanya membaca 'laporan' dari status Anda. Namun demikian, saya tidak bisa melarang Anda untuk memasang status yang Anda inginkan. Saya hanya bisa menyarankan.

Bukannya saya su'udzon dengan mereka yang men-update status demikian, tapi saya mengajak Anda dan saya sendiri untuk lebih jujur pada hati kita. Benarkah yang kita lakukan atas dasar niat yang benar? Kejujuran hati kitalah yang mampu menjawabnya.

Pernahkah Anda didatangi seorang sahabat yang ingin meminta pendapat Anda, namun ketika Anda memberikan pendapat yang kurang sesuai dengan sahabat Anda, sahabat Anda justru marah-marah? Pernahkah? Jika pernah, kemungkinan Anda telah menghadapi orang yang tidak jujur pada dirinya sendiri, pada hatinya sendiri. Kenapa? Karena yang namanya meminta pendapat ya harusnya dalam keadaan membutuhkan masukkan, dan bukan mencari dukungan. Pendapat yang didengar tak selalu sesuai dengan keinginan. Perkara pendapat tersebut akan dipakai atau tidak, itu hak si peminta pendapat. Itu lain kisah.

Nah, apa yang dilakukan sahabat Anda tadi sebenarnya bukan meminta pendapat Anda. Tapi meminta dukungan Anda atas pendapatnya. Ketika dia tidak mendapat dukungan, tak ayal dia marah-marah. Tapi sahabat Anda tidak sadar akan hal itu, tak sadar tentang keinginan sebenarnya. Yah, kejujuran hati memang harus ditelisik dalam ketenangan dan perenungan.

Kita adalah hamba Allah, kita memiliki kewajiban untuk beribadah kepada Allah SWT. Kita (yang pria) shalat berjama'ah di Masjid. Mengapa? Karena ada banyak teman-teman di kostan, bisa malu kalau tidak ke Masjid kah? Kita menghafal Al Quran, untuk apa? Supaya terlihat keren saat menjadi imam, kah? Banyak yang ingin belajar ke luar negeri, untuk apa? Supaya keren dan bisa jalan-jalan, kah? Dan masih banyak pertanyaan lainnya yang serupa. Mari kita lebih jujur pada diri kita sendiri sehingga kita bisa meluruskan kembali niat kita.

Untuk bisa jujur pada diri sendiri, jiwa Anda harus dalam keadaan tenang. Pun Anda harus melepaskan segala bentuk gengsi di dalam hati. Dengan demikian Anda bisa menelisik hati Anda sendiri dengan lebih dalam. Banyak orang tidak sadar bahwa mereka tidak jujur pada hati mereka sendiri. Butuh perenungan untuk bisa memahami hati sendiri.

Last but not least, Semakin Anda jujur pada hati Anda, semakin Anda mengenali diri Anda. Semakin Anda mengenali diri Anda, semakin Anda ikhlas dan tenang menjalani hidup Anda,

"Maka Allah memberi mereka pahala terhadap perkataan yang mereka ucapkan, (yaitu) surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya, sedang mereka kekal di dalamnya. Dan itulah balasan (bagi) orang-orang yang berbuat kebaikan (yang ikhlas keimanannya)."
[Al-Maaidah : 85]

Saturday, February 4, 2012

Allah Tuhan Kita, Aku, Kamu Sekalian

Kaum Pluralis mengatakan, semua agama menuju Tuhan yang satu. Padahal kelompok-kelompok Kristen berbeda penggunaan nama Tuhan mereka. Salah satu pandangan yang senantiasa dilempar oleh kaum Pluralis Agama dalam 'mengelirukan' pemikiran kaum Muslim, adalah mengatakan, "semua agama adalah jalan yang berbeda-beda menuju Tuhan yang satu". Mereka mengatakan, soal nama "Yang Satu" itu tidaklah penting. Yang Satu itu dapat dinamai Allah, God, Lord, Yahweh, The Real, The Eternal One, dan sebagainya. Bagi mereka, nama Tuhan tidak penting. Ada yang menulis: "Dengan nama Allah, Tuhan Yang Maha Pengasih, Tuhan Yang Maha Penyayang, Tuhan Segala agama."



Kita ingat, dulu, ada cendekiawan terkenal yang mengartikan kalimat syahadat dengan: "Tidak ada tuhan (dengan t kecil), kecuali Tuhan (dengan T besar).

Tradisi yang tidak tahu dan tidak mempersoalkan nama Tuhan bisa kita telusuri dari tradisi Yahudi. Kaum Yahudi, hingga kini, masih berspekulasi tentang nama Tuhan mereka.

Dalam konsep Judaism (agama Yahudi), nama Tuhan tidak dapat diketahui dengan pasti. Kaum Yahudi modern hanya menduga-duga, bahwa nama Tuhan mereka adalah Yahweh. The Concise Oxford Dictionary of World Religions menjelaskan 'Yahweh' sebagai "The God of Judaism as the ‘tetragrammaton YHWH, may have been pronounced. By orthodox and many other Jews, God’s name is never articulated, least of all in the Jewish liturgy."

Karena tidak memiliki tradisi sanad yang sampai kepada Nabi Musa a.s. maka kaum Yahudi tidak dapat membaca dengan pasti empat huruf "YHWH". Mereka hanya dapat menduga-duga, empat huruf konsonan itu dulunya dibaca Yahweh. Karena itu, kaum Yahudi Ortodoks tidak mau membaca empat huruf mati tersebut, dan jika ketemu dengan empat konsonan tersebut, mereka membacanya dengan Adonai (Tuhan).

Spekulasi Yahudi tentang nama Tuhan ini kemudian berdampak pada konsepsi Kristen tentang "nama Tuhan" yang sangat beragam, sesuai dengan tradisi dan budaya setempat. Di Mesir dan kawasan Timur Tengah lainnya, kaum Kristen menyebut nama Tuhan mereka dengan lafaz "Alloh", sama dengan orang Islam; di Indonesia mereka melafazkan nama Tuhannya menjadi "Allah"; dan di Barat kaum Kristen menyebut Tuhan mereka dengan "God" atau "Lord".

Bagi orang Kristen, "Allah" bukanlah nama diri, seperti dalam konsep Islam. Tetapi, bagi mereka, "Allah" adalah sebutan/gelar untuk "Tuhan itu" (al-ilah). Jadi, bagi mereka, tidak ada masalah, apakah Tuhan disebut God, Lord, Allah, atau Yahweh. Yang penting, sebutan itu menunjuk kepada "Tuhan itu". Ini tentu berbeda dengan konsep Islam.

Di Indonesia, dalam beberapa tahun terakhir, muncul kelompok-kelompok Kristen yang menolak penggunaan nama "Allah" untuk Tuhan mereka dan menggantinya dengan kata "Yahwe". Tahun 1999, muncul kelompok Kristen yang menamakan dirinya Iman Taqwa Kepada Shirathal Mustaqim (ITKSM) yang melakukan kampanye agar kaum Kristen menghentikan penggunaan lafaz Allah. Kelompok ini kemudian mengganti nama menjadi Bet Yesua Hamasiah (BYH). Kelompok ini mengatakan: "Allah adalah nama Dewa Bangsa Arab yang mengairi bumi. Allah adalah nama Dewa yang disembah penduduk Mekah.''

Kelompok ini juga menerbitkan Bibel sendiri dengan nama Kitab Suci Torat dan Injil yang pada halaman dalamnya ditulis Kitab Suci 2000. Kitab Bibel versi BYH ini mengganti kata "Allah" menjadi "Eloim", kata "TUHAN" diganti menjadi "YAHWE"; kata "Yesus" diganti dengan "Yesua", dan "Yesus Kristus" diubah menjadi "Yesua Hamasiah".

Berikutnya, muncul lagi kelompok Kristen yang menamakan dirinya "Jaringan Gereja-gereja Pengagung Nama Yahweh" yang menerbitkan Bibel sendiri dengan nama "Kitab Suci Umat Perjanjian Tuhan ini". Kelompok ini menegaskan, "Akhirnya nama "Allah" tidak dapat dipertahankan lagi." (Tentang kontroversi penggunaan nama Allah dalam Kristen, bisa dilihat dalam buku-buku I.J. Setyabudi, Kontroversi Nama Allah, (Jakarta: Wacana Press, 2004); Bambang Noorsena, The History of Allah, (Yogya: PBMR Andi, 2005); juga Herlianto, Siapakah Yang Bernama Allah Itu? (Jakarta: BPK, 2005, cetakan ke-3).

Itulah tradisi Yahudi-Kristen dalam soal penyebutan nama Tuhan. Sayangnya, oleh sebagian kaum Muslim atau orientalis Barat, tradisi Yahudi dan Kristen ini kemudian dibawa ke dalam Islam. Pada berbagai terjemahan Al-Quran dalam bahasa Inggris, kita menemukan tindakan yang tidak tepat, yaitu menerjemahkan semua lafaz Allah dalam Al-Quran menjadi "God". Dalam konsep Islam, Allah adalah nama diri (ismul 'alam/proper name)dari Dzat Yang Maha Kuasa.

Maka, seharusnya, lafaz "Allah" dalam Al-Quran tidak diterjemahkan ke dalam sebutan lain, baik diterjemahkan dengan "Tuhan", "God", atau "Lord".

Beberapa terjemahan Al-Quran bahasa Inggris telah menerjemahkan lafaz Allah menjadi God. Misalnya, Abdullah Yusuf Ali – dalam The Holy Qur'an -- menerjemahkan "Bismillah" dengan "In the name of God".

Begitu juga, "Alhamdulillah" diterjemahkan dengan "Praise be to God", dan "Qul Huwallahu ahad" diterjemahkan dengan "Say: He is God, the One and Only". Kasus yang sama – penerjemahan nama Allah menjadi God – juga bisa dilihat dalam Terjemah al-Quran bahasa Inggris yang dilakukan oleh J.M.

Rodwell (terbitan J.M. Dent Orion Publishing Group, London, 2002. Terbit pertama oleh Everyman tahun 1909). Harusnya, kata Allah dalam al-Quran tidak diterjemahkan, karena "Allah" adalah nama. Seperti halnya kita tidak boleh menerjemahkan kata "President Bush" dengan "Presiden semak", atau nama Menlu AS "Rice" dengan "Menteri Nasi".

Menurut Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas, sesuai dengan konsep Pandangan Hidup Islam (Islamic worldview) yang bersifat otentik dan final, maka konsep Islam tentang Tuhan, juga bersifat otentik dan final. Itu disebabkan, konsep Tuhan dalam Islam, dirumuskan berdasarkan wahyu dalam Al-Quran yang juga bersifat otentik dan final.

Konsep Tuhan dalam Islam memiliki sifat yang khas yang tidak sama dengan konsepsi Tuhan dalam agama-agama lain, tidak sama dengan konsep Tuhan dalam tradisi filsafat Yunani; tidak sama dengan konsep Tuhan dalam filsafat Barat modern atau pun dalam tradisi mistik Barat dan Timur. (Syed Muhammad Naquib al-Attas, Prolegomena to the Metaphysic of Islam, (Kuala Lumpur: ISTAC, 1995).

Bait pertama dalam Aqidah Thahawiyah yang ditulis oleh Abu Ja'far ath-Thahawi (239-321H), dan disandarkan pada Imam Abu Hanifah, Abu Yusuf, Imam Syaibani, menyatakan: "Naquulu fii tawqiidillaahi mu'taqidiina – bitawfiqillaahi: Innallaaha waahidun laa syariikalahu." Dalam Kitab Aqidatul Awam – yang biasa diajarkan di madrasah-madrasah Ibtidaiyah – ditulis bait pertama kitab ini: "Abda'u bismillaahi wa-arrahmaani—wa bi-arahiimi daa'imil ihsani." Ayat pertama dalam al-Quran juga berbunyi "Bismillahirrahmaanirrahiimi", dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.

Tuhan, dalam Islam, dikenal dengan nama Allah. Lafaz 'Allah' dibaca dengan bacaan yang tertentu. Kata "Allah" tidak boleh diucapkan sembarangan, tetapi harus sesuai dengan yang dicontohkan Rasulullah saw, sebagaimana bacaan-bacaan ayat-ayat dalam Al-Quran.

Dengan adanya ilmul qiraat yang berdasarkan pada sanad – yang sampai pada Rasulullah saw – maka kaum Muslimin tidak menghadapi masalah dalam penyebutan nama Tuhan. Umat Islam juga tidak berbeda pendapat tentang nama Tuhan, bahwa nama Tuhan yang sebenarnya ialah Allah.

Dengan demikian, "nama Tuhan", yakni "Allah" juga bersifat otentik dan final, karena menemukan sandaran yang kuat, dari sanad mutawatir yang sampai kepada Rasulullah saw. Umat Islam tidak melakukan 'spekulasi filosofis' untuk menyebut nama Allah, karena nama itu sudah dikenalkan langsung oleh Allah SWT – melalui Al-Quran, dan diajarkan langsung cara melafalkannya oleh Nabi Muhammad saw.

Dalam konsepsi Islam, Allah adalah nama diri (proper name) dari Dzat Yang Maha Kuasa, yang memiliki nama dan sifat-sifat tertentu. Sifat-sifat Allah dan nama-nama-Nya pun sudah dijelaskan dalam al-Quran, sehingga tidak memberikan kesempatan kepada terjadinya spekulasi akal dalam masalah ini. Tuhan orang Islam adalah jelas, yakni Allah, yang SATU, tidak beranak dan tidak diperanakkan, dan tidak ada sesuatu pun yang
serupa dengan Dia. (QS 112). Dan syahadat Islam pun begitu jelas: "La ilaha illallah, Muhammadur Rasulullah" -- Tidak ada tuhan (yang hak disembah) selain Allah, dan Muhammad adalah utusan Allah". Syahadat Islam ini tidak boleh diterjemahkan dengan "Tidak ada tuhan kecuali Tuhan dan Yang Terpuji adalah utusan Allah".

Kaum Muslim di seluruh dunia – dengan latar belakang budaya dan bahasa yang berbeda – juga menyebut dan mengucapkan nama Allah dengan cara yang sama. Karena itu, umat Islam praktis tidak mengalami perbedaan yang mendasar dalam masalah konsep 'Tuhan'. Karen Armstrong menulis dalam bukunya:

"Al-Quran sangat mewaspadai spekulasi teologis, mengesampingkannya sebagai zhanna, yaitu menduga-duga tentang sesuatu yang tak mungkin diketahui atau dibuktikan oleh siapa pun. Doktrin Kristen tentang Inkarnasi dan Trinitas tampaknya merupakan contoh pertama zhanna dan tidak mengherankan jika umat Muslim memandang ajaran-ajaran itu sebagai penghujatan." (Karen Armstrong, Sejarah Tuhan (Terj), 2001), hal. 199-200).

Bagi kaum Pluralis Agama, siapa pun nama Tuhan tidak menjadi masalah, karena biasanya mereka memandang, agama adalah bagian dari ekspresi budaya manusia yang sifatnya relatif. Karena itu, tidak manjadi masalah, apakah Tuhan disebut Allah, God, Lord, Yahweh, dan sebagainya. Mereka juga mengatakan, bahwa semua ritual dalam agama adalah menuju Tuhan yang satu, siapa pun nama-Nya. Nurcholish Madjid, misalnya, menyatakan, bahwa:

"... setiap agama sebenarnya merupakan ekspresi keimanan terhadap Tuhan yang sama. Ibarat roda, pusat roda itu adalah Tuhan, dan jari-jari itu adalah jalan dari berbagai Agama." (Lihat, buku Tiga Agama Satu Tuhan, (1999), hal. xix).

Seorang Pluralis pendatang baru, juga menulis dalam buku terbarunya, "Semua agama itu kembali kepada Allah. Islam, Hindu, Budha, Nasrani, Yahudi, kembalinya kepada Allah."

Pandangan yang menyatakan, bahwa semua agama menyembah Tuhan yang sama, yaitu Allah, adalah pandangan yang keliru. Hingga kini, sebagaimana dipaparkan sebelumnya, di kalangan Kristen saja, muncul perdebatan sengit tentang penggunaan lafal "Allah" sebagai nama Tuhan. Sebagaimana kaum Yahudi, kaum Kristen sekarang juga tidak memiliki 'nama Tuhan' secara khusus. Kaum Hindu, Budha, dan pemeluk agama-agama lain juga tidak mau menggunakan lafaz "Allah" sebagai nama Tuhan mereka.

Kaum musyrik dan Kristen Arab memang menyebut nama Tuhan mereka dengan "Allah" sama dengan orang Islam. Nama itu juga kemudian digunakan oleh Al-Quran. (Al-Quran memang menyebutkan, jika kaum musyrik Arab ditanya tentang siapa yang menciptakan langit dan bumi, maka mereka akan menyebut "Allah". (Lihat QS 29:61, 43:87).

Tetapi, perlu dicatat, bahwa Al-Quran menggunakan kata yang sama namun dengan konsep yang berbeda. Bagi kaum musyrik Arab, Allah adalah salah satu dari Tuhan mereka, disamping tuhan Lata, Uza, Hubal, dan sebagainya. Karen Armstrong menyebut, ketika Islam datang, 'Allah' dianggap sebagai 'Tuhan Tertinggi dala keyakinan Arab kuno'. (Lihat, Karen Armstrong, op cit, hal. 190).

Karena itu, dalam pandangan Islam, mereka melakukan tindakan syirik terhadap Allah. Sama dengan kaum Kristen, yang dalam pandangan Islam, juga telah melakukan tindakan syirik dengan mengangkat Nabi Isa sebagai Tuhan. Karena itulah, Nabi Muhammad saw – sesuai dengan ketentuan QS al-Kafirun – menolak ajakan kaum musyrik Quraisy untuk melakukan penyembahan kepada Tuhan masing-masing secara bergantian.

Jadi, tidak bisa dikatakan, bahwa orang Islam menyembah Tuhan yang sama dengan kaum kafir Quraisy. Jika menyembah Tuhan yang sama, tentulah Nabi Muhammad saw akan memenuhi ajakan kafir Quraisy.

"Katakan, hai orang-orang kafir! Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah. Dan aku tidak pernah menjadi peyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah. Untukmulah agamamu, dan untukkulah agamaku." (QS 109).

QS al-Kafirun ini menjadi dalil bahwa karena konsep Tuhan yang berbeda – meskipun namanya sama, yaitu Allah -- dan cara beribadah yang tidak sama pula, maka tidak bisa dikatakan bahwa kaum Muslim dan kaum kafir Quraisy menyambah Tuhan yang sama. Itu juga menunjukkan, bahwa konsep Tuhan kaum Quraisy dipandang salah oleh Allah dan Rasul-Nya. Begitu juga cara (jalan) penyembahan kepada Allah. Karena itulah, nabi Muhammad dilarang mengikuti ajakan kaum kafir Quraisy untuk secara bergantian menyembah Tuhan masing-masing.

Sebagai Muslim, kita meyakini, Islam adalah agama yang benar. Tuhan kita Allah, yang nama-Nya diperkenalkan langsung dalam Al-Quran. Tidaklah patut kita membuat teori-teori yang berasal dari spekulasi akal, dengan menyama-nyamakan Allah dengan yang lain, atau menserikatkan Allah dengan yang lain, sebagaimana dilakukan oleh orang-orang yang mengaku Pluralis Agama. Wallahu a'lam.

---

Oleh: Adian Husaini, MA
www.hidayatullah.com

Thursday, February 2, 2012

Antara Kesalahan, Maaf, dan Hukuman

Artikel yang saya tulis ini terlahir dari opini-opini masyarakat yang saya dengar, terutama dari mereka yang mengatakan, "Don't judge from the cover!", "Biar Tuhan saja yang menghukum, kalian gak usah ikut-ikutan!", "Alaah, gak usah sok suci deh. Kayak gak punya dosa aja, lu!", "Kalau lu Tuhan, baru deh boleh menghakimi!" Dan opini-opini lainnya yang tampak memberi dukungan kepada yang tersalah, dan menghujat balik para penghujat tersalah. Dari opini-opini mereka terlahirlah opini saya sendiri. Sekali lagi ini hanya opini saya. I can be wrong, tho.

Well, what is it about? Hmmm... Tentunya masih ingat dengan kasus video porno dimana Ariel (ex) Peterpan, Luna Maya, dan Cut Tari sebagai bintangnya, kan? Masih ingat dikeluarkannya Sammy Simorangkir dari Kerispatih juga, kan? Wah, acara gossip, nih? Hehehe... Sebenarnya bukan. Itu hanya contoh yang terkenal di masyarakat saja.

Ketika video porno Ariel beredar, segara hujatan mengalir kepada Ariel. Tak sedikit juga yang memberi dukungan, salah satunya dengan berkomentar seperti pada paragraf pertama. Sementara yang lain menikmati adegan syur tersebut. Begitu pula dengan kasus Sammy. Ada yang mendukung, ada yang menghujat.

Perbuatan dikatakan sebuah kesalahan tergantung dari definisi mana kita melihatnya. Agama, hukum negara, atau adat istiadat? Berhubungan seksual dengan pacar adalah sebuah kesalahan (bahkan dosa) dalam hukum Islam. Tapi bagi masyarakat liberal di Amerika Serikat dan Eropa hal itu sah-sah saja. Yang penting kan suka sama suka, tidak ada paksaan.

OK, kita di Indonesia yang masyarakatnya terkenal relijius, mayoritas Muslim, dan berbudaya timur. Dari sudut ini kita sepakat bahwa perzinahan adalah terlarang, dan melakukannya adalah kesalahan, pelanggaran hukum. Sebenarnya tidak hanya perzinahan, tapi perbuatan apapun yang melanggar hukum, entah hukum agama, negara, atau adat-istiadat.

Oh ya, sebelum dilanjutkan, saya sekedar menegaskan bahwa dasar hukum negara Indonesia adalah Pancasila, dimana sila pertama berbunyi: "Ketuhanan Yang Maha Esa". Artinya negara ini percaya akan Tuhan Yang Esa, negara yang monoteistis. Jadi ateisme harusnya sebuah paham terlarang di negara ini. Menjadi seorang ateis berarti melanggar hukum yang paling dasar di negara ini. Jadi pendapat yang mungkin muncul dari kaum ateis saya abaikan sementara :D

Nah, hukum itu bersifat mengikat. Harus dilaksanakan dan setiap pelanggaran (seharusnya) ada hukuman. Dan yang namanya hukum harus memiliki supremasi dan reinforcement. Kalau ada yang melanggar ya dihukum. Tentunya penegakan hukum di sebuah negara harus ada partisipasi dari rakyatnya.

Mungkin karena di Indonesia tidak ada undang-undang yang melarang hubungan seks di luar pernikahan, Cut Tari dan Luna Maya tidak dihukum penjara. Mau saya sih, dua wanita itu juga ikut dihukum. Sebagai sebuah pembelajaran bagi yang lain. Hukum itu dibuat untuk mendidik. Tapi mungkin tidak ada pasal dalam undang-undang yang mampu menjerat mereka.

Bukannya ikut-ikutan menghujat mereka, tapi seperti yang sudah disepakati bahwa sebuah pelanggaran harus membawa sebuah hukuman. Tanpa hukuman, hukum menjadi lemah. Sudah menjadi rahasia umum jika pelanggaran yang dilakukan sekali dua kali tidak mendapatkan hukuman apa-apa, pelaku akan meremehkan dan mulai terbiasa dengan pelanggaran tersebut. Contohnya saja larangan parkir dan berjualan. Sudah jelas-jelas ada tanda dilarang parkir, eh masih aja parkir di situ. Sudah jelas-jelas ada tanda dilarang berjualan, eh masih aja berjualan di situ. Karena tidak ada ketegasan yang jelas, ya seolah-olah larangan itu hilang. Sudah nature-nya manusia begitu. Dengan kata lain, manusia membutuhkan tali kekang, manusia tidak boleh benar-benar bebas.

Jangankan yang tidak ada undang-undangnya, yang ada undang-undangnya pun banyak yang masih melanggarnya. Contohnya korupsi, narkoba, tindak pidana, dan yang lainnya.

Mungkin satu-satunya hukuman yang diterima Cut Tari dan Luna Maya adalah hukuman publik. Tak perlu ditanya lagi seberapa banyak cercaan yang mereka terima. Dan jelas, hal itu mempengaruhi kilau sinar stardom mereka. Mungkin kita perlu berterima kasih juga pada para penghujat, karena merekalah satu-satunya 'algojo' bagi mereka. Tanpa para penghujat maka dua wanita itu tak memiliki hukuman. Hal itu tidak memberikan pembelajaran apa-apa bagi sang pelanggar.

Ada yang bilang, "Kamu tuh ngomong kayak gak punya dosa aja". Yaaaa... Siapa sih yang bersih dari dosa? Untuk memberikan hukuman tidak perlu benar-benar bersih dari dosa. Kalau harus bersih dari dosa, takkan ada yang bisa 'mengingatkan' kita saat kita melanggar. Manusia dengan kekurangannya harus saling mengingatkan supaya mereka tidak terjerumus dalam kesalahan. Kalau harus menunggu sempurna dulu untuk bisa memberikan hukuman, lalu siapa yang akan menghukum sang tersalah? Jadi harus menunggu Tuhan menghukumnya? Helloooo.... Are you serious...?!

Jadi menghujat dua wanita itu dibenarkan? Saya tidak bilang saya membenarkan penghujatan. Tapi inilah dinamika masyarakat kita. Kita hidup di tengah-tengah masyarakat yang tentunya memiliki kepentingannya sendiri-sendiri. Semoga saja hujatan-hujatan itu membuat mereka tersadar.

Dalam opini saya perzinahan adalah pelanggaran berat. Hukumannya pun seharusnya berat. Dan menghukum seseorang ya harusnya dilakukan dengan prosedur yang berlaku. Well, negara ini punya hukumnya sendiri.

Bagi saya, Tuhan menciptakan manusia dan menurunkannya ke bumi bukan tanpa 'manual'. Manual inilah yang seharusnya jadi pegangan. Bukan dengan alasan kebebasan, hati nurani, kesetaraan, atau apalah itu,  kemudian kita membuat manual kita sendiri yang belum tentu baik buat kita. God DOES know the best for us, believe me.

Ada yang bilang, "Kalau lu Tuhan, boleh deh lu menghakimi!" Apa itu menghakimi? Apakah tiap pelanggaran yang terjadi kita hanya menunggu Tuhan yang menghakimi? C'mon, be real! Dan bukankah Tuhan sudah memberikan manualNya? Tentunya yang menjadi hakim adalah mereka yang kompeten dan sudah diberikan amanahnya. Yang tidak bersangkutan tidak perlu ikut-ikutan menghakimi.

Salah satu hukuman yang diterima Sammy adalah dikeluarkannya dia dari Kerispatih. Ada yang bilang, "Seharusnya sebuah kelompok itu terus bersama saat anggotanya terjatuh. Bukan malah mendepaknya keluar". Kata-kata itu terdengar sangat tepat. Tapi tunggu. Kita tidak pernah benar-benar tahu dengan kondisi sebenarnya mereka. Karena kita tak pernah di posisi Sammy dan personil Kerispatih lainnya. Mungkin dikeluarkannya Sammy dari Kerispatih adalah sebuah hukuman yang paling tepat untuknya. Mungkin justru akan menjadi tidak baik jika Sammy tetap dipertahankan dalam Kerispatih. Tapi apakah itu benar-benar yang terbaik? Saya tidak tahu. Itu urusan intern mereka.

Well, ini tidak sekedar masalah selebritas saja. Tapi kasus-kasus yang lain pun terjadi disekitar kita.

Lalu dimana kata maaf itu? Maaf tentunya diberikan. Tapi pemberian maaf bukan berarti pembebasan dari hukuman. Maaf dan pembebasan hukuman adalah sesuatu yang berbeda. Hukuman adalah sebuah bentuk pembelajaran bagi yang terhukum dan orang lain. Begitu sang tersalah selesai menjalani hukumannya, ya kita harus bisa menerima dirinya lagi. Kalau dia melanggar lagi ya dihukum lagi. Tentunya dengan 'dosis' yang berbeda. Dan jangan salahkan orang lain kalau kita pernah bersalah, lalu kita kehilangan sebagian kepercayaan dari teman-teman kita. Itulah konsekuensi dari pelanggaran yang kita buat. Kita harus bekerja keras untuk mendapatkan kepercayaan mereka lagi. Siapa sih yang mau dikecewakan untuk yang kedua kalinya?

Satu hal yang perlu diingat, jika Anda sadar Anda bukanlah manusia yang terbebas dari salah dan khilaf, seharusnya Anda bermurah hati untuk memberikan maaf bagi orang lain.

"Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui."
[Al-Baqarah : 256]

"Kebajikan adalah sesutau yang membuat jiwa tenang dan sesuatu yang membuat hati tenang, sedang dosa adalah apa yang terdetik dalam jiwa dan bergetar dalam dada, walaupun orang-orang telah memberikan fatwa kepadamu dan terus memberikan fatwa."
[Al-Hadits]

Wednesday, February 1, 2012

Perlu Ada Pengurangan Alfabet

Tampaknya jumlah abjad perlu dikurangi. Abjad yang digunakan di dalam bahasa Indonesia berjumlah 26. Ke-26 abjad tersebut rasanya masih terlalu banyak, dan lagipula ada beberapa abjad yang jarang sekali digunakan. Oleh karena itu mari kita sederhanakan abjad-abjad tersebut dan menyesuaikan dengan kata-kata yang kita gunakan.

Pertama-tama, huruf X, kita ganti dengan gabungan huruf K dan S. Kebetulan hampir tidak ada kata dalam bahasa Indonesia asli yang menggunakan huruf ini, kebanyakan merupakan kata serapan dari bahasa asing. Misalnya taxi menjadi taksi, maximal menjadi maksimal, dst.


Selanjutnya, huruf Q kita ganti dengan KW. Serupa dengan X, kata2 yang mengunakan huruf ini juga sangat sedikit sekali.

Berikutnya, huruf Z. Huruf Z kita ganti menjadi C. Tidak ada alasan kuat tentang hal ini.

Huruf Y diganti dengan I. Hal ini dilakukan sebab bunii huruf tersebut mirip dengan I.

Kemudian huruf F dan V keduania diganti menjadi P. Pada lepel ini masih belum terjadi perubahan iang signipikan.

Hurup W kemudian diganti menjadi hurup U. Berarti sampai saat ini kita sudah mengeliminasi 7 hurup.

Hurup iang bisa kita eliminasi lagi adalah R, mengingat baniak orang iang kesulitan meniebutkan hurup tersebut. R kita ganti dengan L.

Selanjutnia, gabungan hulup KH diganti menjadi H.

Iang paling belpengaluh adalah hulup S iang diganti menjadi C.

Hulup G juga diganti menjadi K.

Dan hulup J juga diganti menjadi C.

Caia laca cudah cukup untuk hulup-hulup konconannia. Cekalank kita kanti hulup pokalnia.

Cuma ada lima hulup pokal, A, I , U, E, O. Kita akan eliminaci dua hulup pokal.

Hulup I mencadi dua hulup E iaitu EE.

Cementala hulup U mencadee dua hulup O iaitoo OO.

Cadi, campe cekalank, keeta belhaceel menkulangee hooloop-hooloop keeta. Kalaoo keeta tooleeckan lagee, hooloop-hooloop eeang telceeca adalah:

A, B, C, D, E, H, K, L, M, N, O, P, T.

Haneea ada 12 belac hooloop!! Looal beeaca bookan?? Padahal cebeloomneea keeta pooneea 26 hooloop. Eenee adalah penemooan eeang cankat penteenk dan cikneepeekan!! Co, ceelahkan keeleemkan tooleecan anda denkan menkkoonakan dooa belac hooloop telceboot. 

Monday, January 30, 2012

Tips Aman Naik Angkot

Tampaknya sistem transportasi kita memang kurang aman. Naik Trans Jakarta (so-called "Busway"), diraba-raba. Naik angkot, diperkosa. Jalan kaki, ditabrak Xenia. Bahkan ngesot pun masih ditendang satpam. Hadeeh... Anyway, saya sekedar mau kasih tips aman naik angkot. Terutama buat cewek-cewek. Sapa tau bisa bermanfaat dan mencegah hal-hal yang tidak diinginkan. Berikut laporannya...




  1. Pas naik angkot, pegang pintunya. Naiknya pelan-pelan jangan sok manja pake minta ditolongin supirnya segala.
  2. Kalau supir nanya “Mau kemana mbak?” Jawab dengan jujur kemana tujuanmu. Jangan dijawab “Mau ke hatimu”. Ntar bikin si supir jadi galau.
  3. Walau narsis jangan sampai ngajak supirnya foto bareng, apalagi pake upload tu foto ke facebook. *tepok jidat
  4. Naik angkot gak perlu dandan cantik, pake rok mini, hot pants, de es be. Soalnya cuma di FTV kita bisa menemukan sopir angkot ganteng.
  5. Pas sopir mau pindahin gigi (persneling/gear), gak usah sok romantis pake pegang tangan dan tatap matanya. Hadeeh...
  6. Kalau duduk di belakang supir gak usah tiba - tiba nutup matanya trus bilang “Tebak aku siapa ?” Sumpah deh, gak banget...
  7. Kalau sampai tujuan, ucapkan “Kiri, Pir...!”. Jangan bilang “Kiri Beib...!” Inget lho, ya!
  8. Sepenuh apapun angkotnya jangan duduk di pangkuan supir. Pokoknya jangan!
  9. Terakhir dan terpenting kalau terima uang kembalian, terima aja. Tidak usah pakai cium tangan segala. Apalagi cium pipi, atau malah cium aspal...
Yah... Mudah-mudahan bisa bermanfaat buat pembaca yang budiman sekalian... :D

*Di-copas dari suatu tempat...

Thursday, December 22, 2011

Internet dan Etika

Saya dan mungkin Anda, pembaca yang budiman, adalah orang Indonesia. Manusia Indonesia yang sudah merdeka sejak 1945. Manusia dari negeri timur yang penuh dengan sopan santun dan tata krama. Agamis dan berbudaya luhur. Namun, apa sih merdeka itu bagi kita? Bebas berpendapat dan mengungkapkan pikiran? Atau yang seperti apa?

Mungkin kita sudah merdeka, tak ada lagi pengekangan dalam hidup sebagaimana zaman penjajahan oleh Portugis, Spanyol, Belanda, Inggris, dan Jepang (wah, banyak juga yang pernah menjajah kita ya...). Kebebasan kita dijamin Undang-Undang. Entah itu berpendapat, mengeluarkan fikiran, atau membentuk komunitas. Tapi semenjak internet populer di negeri ini, tampaknya orang-orang menjadi sangat 'percaya diri' untuk mengatakan sesuatu. Entah itu nasehat yang bijak atau bahkan sumpah serapah.

Di dunia nyata, apalagi di bumi pertiwi Indonesia ini, sopan santun dalam bersosial sudah jelas. Bagaimana menyatakan permintaan bantuan, tanda penyesalan, etika berbicara, dan penghormatan pada yang lebih tua. Semua sudah jelas. Ketika Anda menunjuk muka seseorang dan kemudian memaki, "Anjing...!!!" reaksnya pun sudah bisa ditebak. Lantas, berhubung ada di dunia maya lalu kita bebas untuk ber-fakyu-fakyu pada lawan bicara kita?

Facebook, Twitter, Plurk, dan lain sebagainya memang bagian dari dunia maya. Sehingga kita sering lupa bahwa pemilik akun, orang yang kita sapa itu benar-benar ada. Benar-benar nyata. Mereka membaca status atau tweet Anda karena mereka peduli. Kalau mereka tidak peduli mereka tidak akan membaca status atau tweet Anda. Uhmm... Kalau gak salah, dalam psikologi ada istilah yang namanya autosuggestion. Yaitu yang membuat orang menyerap informasi dari apa yang dia baca meskipun hal tersebut tidak menarik baginya.

Jujur, saya sangat heran dengan orang-orang yang dengan begitu pede-nya mengeluarkan caci-maki di status/twitter-nya. Ada yang bilang, "Bang**t lu, beraninya main belakang..!" Lah, bukannya dengan memaki di Facebook justru tanda dia hanya bisa main belakang? Ada juga yang bilang, "Ini status-status guwe, ya suka-suka guwe donk! Kalo situ gak suka ya gak usah baca..." Jiah, kita tidak hidup di hutan atau laut dalam. Kita hidup di tengah-tengah masyarakat beradab, kata-kata kita menjadi penilaian tentang diri kita sendiri. Kecuali kita adalah monyet yang tak tahu adab. Tapi saya yakin Anda, pembaca yang budiman, termasuk manusia bijak lagi santun.

Tahukah Anda apa yang membatasi kebebasan kita? Ya, kebebasan orang lain. Kebebasan seseorang membatasi kebebasan orang lain. Jadi gak ada ceritanya kebebasan absolut. Contohnya begini, jika si A nyetel musik kuenceng-nya bukan main di tengah malam kemudian jika ada ibu-ibu protes, maka hal tersebut adalah lumrah. Kalau seandainya si A tadi malah menjawab:

"Yaelah Ibu. Ini player-player saya. Mau saya puter kenceng-kenceng, atau bahkan saya injek-injek, ya urusan saya. Kalau ibu gak suka ya gak usah didengerin"

Kira-kira asbak bakal melayang ke muka orang itu, tidak?

Kita hidup di tengah masyarakat yang beragam. Kalau kita ingin dihargai kebebasan kita, ya kita harus menghargai kebebasan orang lain. Termasuk kebebasan untuk menikmati kata-kata santun. Kalau Anda ingin memaki-maki, ya maki-makilah di tempat yang orang lain tidak tahu. Jangan di tempat umum macam Facebook, Twitter, Plurk, dan sebagainya. Kalau ada ibu, istri/suami, saudara Anda dalam friends list Anda, dan kemudian Anda memaki, bukankah itu sama saja Anda memaki disamping ibu, suami/istri, saudara Anda sendiri?

Bagi saya, caci maki membuat orang yang mengucapkannya tampak menjijikan dan tak berpendidikan. Kepalanya hanya dipenuhi kata-kata kotor. Saya kira kata-kata kotor tidak akan keluar dari mulut (dalam hal ini mungkin 'ketikan') dari seorang yang berfikiran bersih. Setidaknya, kalau gak nahan untuk memaki, ya memakilah di tempat yang orang lain tidak akan mendengar/membacanya. Biar Anda dan Tuhan saja yang tahu. Dan juga, memaki tidak akan pernah menyelesaikan masalah Anda. Justru akan menunjukkan Anda itu lemah, tidak bisa menyelesaikkan masalah Anda dan Anda hanya bisa memaki.

Yang tak habis fikir, ada juga orang yang memaki-maki tentang pacar atau bahkan suami sendiri. "Cuih... Cowok apaan, tuh? Munafik... Guwe gak cocok sama dia, cuih... cuih..." Secara tak sadar kita bisa mengumbar aib kawan atau suami sendiri, kan?

"Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebahagian kamu menggunjing sebahagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang."
[Q:S Al-Hujurat:12]

"... Siapa yg menutup aib seorang muslim niscaya Allah akan menutup aib di dunia dan kelak di akhirat. Dan Allah senantiasa menolong hamba-Nya selama hamba-Nya itu menolong saudaranya... "
[Al-hadits]

Yang debes, kita sering melihat status-status yang penuh dengan 'kemesraan'...

"Yaang.. Kangen nih... Ketemuan yuuk..."
"Iya, beib... Aku juga kangen kamu..."
"My love... ntar aku telpon kamu yaa..."
"Makasih yayangku, udah nganterin aku jalan-jalan... Love you so much... Muah... muah..."

Hais.... Kalau sesekali sih masih bisa saya terima. Tapi kalau tiap waktu ber-uh-oh.. ah... ah... ah... yeah... yeah... ouh... (apa, sih..?!!) Hadeeeh... -__-"

Kita mungkin sudah sering mendengar tentang orang-orang yang terjebak masalah karena kurang mampu mengontrol kata-katanya. Masih ingat tentunya dengan kasus Twitter Luna Maya, kan? So, mari kia jaga kata-kata kita. Jadilah manusia santun, santun dalam berlaku, santun dalam bertutur kata...

"Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah ia berkata yang baik atau – kalau tidak dapat berkata yang baik, hendaklah ia berdiam diri saja."
[Al-Hadits]

“Bukanlah seorang Mukmin itu seorang yang suka mencela, tidak pula seorang yang suka melaknat, bukan seorang yang keji dan kotor ucapannya.”
[Al-Hadits]

If you get a problem, FACE it! Don't Facebook it!